Bab 7: Menara Langit #1

27 2 0
                                    

"Sebelumnya, saya akan memperkenalkan diri saya kembali. Nama saya, mungkin sudah sering muncul di berita sejak dua hari yang lalu, adalah Amelda Christin. Saya adalah putri tunggal, sekaligus pewaris dari Christ Group."

"Christ Group?" tanyaku menyela, meski beberapa saat kemudian aku menyesalinya karena terkesan tidak sopan.

"Christ Group. Adalah sebuah perusahaan yang bekerja di bidang fashion design, Asisten. Perusahaan ini tidak cukup terkenal di muka umum, namun mereka banyak menghasilkan produk yang mengesankan. Kudengar, perusahaan ini mulai melakukan sebuah gebrakan baru, bukan begitu, Nyonya Amelda?" jawab Tuan Arman sembari membaca dokumen yang baru saja diambilnya, tampaknya sikapnya lebih parah dibandingkan diriku. Membuatku lebih mengkhawatirkan penilaian klien kami padanya dibandingkan diriku.

"Itu benar, Tuan Arman. Perusahaan milik saya, yang merupakan warisan dari ayah saya, bisa dibilang adalah sesuatu yang menjanjikan. Saya mungkin bukan seseorang yang mudah tergiur dengan kekayaan, bahkan sebelumnya saya hendak menolak warisan ini karena akan mengurus kegiatan di kampus, tapi astaga! Entah bagaimana caranya, namun ada sebuah dokumen berisikan keuntungan di masa depan yang akan datang, dengan prospek keuntungan yang sangat tinggi," Nyonya Amelda mengatakan hal tersebut dengan nada gemetaran, lantas dengan tangan yang memiliki keadaan yang sama, wanita itu mengeluarkan sebuah map berisi dokumen yang dipenuhi angka, "Maafkan saya bila tidak menunjukkannya sebelumnya, Tuan Arman. Ini. Saya membawa salinan dokumen tersebut. Sejujurnya, tindakan ini dilarang oleh sekretaris ayah saya. Namun, saya tidak punya pilihan lain. Saya kira, saya bisa percaya kepada anda, juga kepada asisten anda. Silahkan anda baca."

Nyonya Amelda meletakkan map berisi dokumen keuntungan itu di atas meja kerja Arman, yang segera disambarnya dengan cepat, lantas diperhatikannya isi dokumen tersebut dengan seksama.

Setelah beberapa saat kemudian. Menyadari bahwa Arman tidak akan berbicara sementara waktu, aku mengambil inisiatif untuk memberitahu klien kami agar melanjutkan ceritanya. Yah, tindakan yang sedikit memalukan, namun kurasa boleh dicoba.

"Ah, baiklah. Tuan..."

"Tegar, Nyonya Amelda. Anda bisa memanggil asisten saya demikian," jawab Arman sebelum diriku, membuatku menatapnya sinis, yang dibalas dengan sengiran kecil, kemudian berbisik, "Sedikit menyenangkan melakukan hal ini, Asisten. Jadi maafkan aku."

Klien kami, yang baru saja menyaksikan tingkah laku Arman hanya bisa terdiam, untuk beberapa saat kemudian mengangguk dan kembali bercerita.

"Pada akhirnya, saya malu mengatakannya, Tuan. Namun, angka keuntungan tersebut berhasil membuat saya tertarik dengan warisan ini, dan tanpa berpikir panjang, saya segera menerimanya. Sekretaris ayah saya menyerahkan dokumen tersebut, dan saya menandatanganinya dengan segera."

Cerita nyonya Amelda terhenti sejenak. Wanita itu kini menatap Arman, yang sudah usai membaca dokumen pemberiannya. Setelah itu, ia menatapku, cukup lama, dan sempat membuatku tersipu malu.

"Saya seharusnya tidak melakukan itu, Tuan! Saya menyesal. Entah kenapa, sejak saya menandatangani dokumen itu, sebuah perasaan akan sesuatu yang buruk timbul di hati saya, dan sekarang tebakan itu benar-benar terjadi...," Klien kami kembali menghentikan ceritanya, seluruh tubuhnya kini gemetar seakan sedang takut akan suatu bahaya, dan linangan air mata keluar, "Sa... saya ketakutan, Tuan. Selama seminggu... rumah saya selalu kedatangan surat... dan aku ketakutan dengan isinya. Or... orang-orang yang tidak kukenal juga muncul. A... aku hampir saja diculik, Tuan! Jika tidak ada teman saat itu, mung... mungkin... aku tidak tahu apa yang akan terjadi. Aku takut, Tuan."

Nyonya Amelda mulai terisak, menangis. Aku mungkin tidak melihat apa yang dialaminya akhir-akhir ini, tetapi aku paham, wanita ini telah melewati banyak hal yang mengerikan, menghadapi sesuatu yang jahat. Mungkin, menurut ceritanya, klien kami ini tidak dapat mengatasi masalah ini, karena dia memang tidak pernah mengalaminya.

Tuan Arman membiarkan klien kami selama beberapa saat. Sebenarnya, dia hendak memberikan tisu agar nyonya Amelda dapat mengusap air matanya, namun begitu menyadari kotak tisu di mejanya telah kosong. Dia segera mengurungkan tindakannya tersebut.

"Anda mungkin harus menenangkan diri terlebih dahulu, Nyonya. Biarkan saya yang berbicara selanjutnya. Ah, tidak perlu. Biarkan saya saja, yang harus anda lakukan saat ini hanyalah menghirup napas dan tenang," ucap Arman dengan gaya gentle, untuk kemudian bangkit dari kursinya, "ikuti aku, Asisten."

Aku mendongak, dan dengan cepat bangkit dari kursi plastik yang kududuki. Sementara itu, Tuan Arman berjalan ke arah ruangan di belakang kantor, yang sepertinya adalah dapur. Terdiam sebentar, kini dia berjalan kembali menuju tempat kompor berada, mengambil panci kecil yang tergantung di dinding, mengambil air dari wastafel, kemudian meletakkannya di atas kompor dengan api yang menyala.

"Asisten, bisakah kau ambilkan teh hitam yang ada di lemari?"

"Oh, ah, baiklah," ucapku sembari berjalan ke arah lemari hitam yang berada di samping kulkas, "uhm, laci yang mana, Tuan Arman?"

"Tengah, yang paling atas."

Aku mengangguk, kemudian meraih pegangan laci paling atas, membukanya. Tidak ada banyak barang yang tersimpan disini, hanya beberapa bungkus sereal, susu, sereal, susu, sereal, mie instan, susu, sereal, uh...

Ah, tehnya ketemu.

"Tuan Arman, ini tehnya."

Kuserahkan bungkusan teh hitam yang baru saja kuambil kepada tuan Arman. Begitu menerimanya, Arman segera mengeluarkan sekantung teh, kemudian memasukkannya ke dalam air rebusan di panci.

"Kasus ini.... Aku yakin ada sesuatu yang janggal, Asisten" ujar Arman setelah berdiam diri beberapa saat, pandangannya tidak teralihkan, tetap fokus pada isi panci, "Christ group, seperti yang sudah kukatakan sebelumnya, perusahaan ini bekerja di bidang Fashion. Pekerjaan mereka, menurutku, hanyalah mendesain rancangan pakaian. Lalu, kenapa mereka, secara tiba-tiba masuk dalam bidang konstruksi!"

"Bidang konstruksi?"

Arman mengangguk, "Ada bangunan baru di daerah pusat, Asisten. Sebuah menara, menara yang sangat tinggi. Menurut dokumen yang diberikan klien kita ini, menara itu akan dinobatkan sebagai menara tertinggi di negara ini. Tidakkah menurutmu, sebuah perusahaan fashion terlibat dengan pembangunan menara ini merupakan sesuatu yang mencurigakan? Kulihat, ada banyak sekali lubang yang tak terjelaskan di dalam dokumen itu, "

"Lubang?" tanyaku penasaran.

"Iya, lubang," jawab Arman sembari mematikan kompor, "Ada sesuatu yang tak terjelaskan di dalam dokumen itu. Sulit untuk menjelaskannya, yang bisa kukatakan saat ini adalah, kenapa? Itu adalah proyek besar, kenapa menggunakan jasa yang bekerja di luar bidangnya? Apa alasannya? Tidak ada satu tulisanpun yang menjelaskan pertanyaan tersebut."

Mendengar jawaban Arman membuatku terdiam, benar juga. Aku mungkin memang baru saja terjun dalam dunia ini, namun jika dipikirkan lebih dalam, tentu saja hal tersebut akan terasa sangat janggal.

"Nah, sudah selesai. Asisten, bisakah kau antarkan teh hangat ini kepada asisten kita? Aku mungkin akan berpikir sejenak disini. Yah, ini kasus baru yang cukup aneh setelah beberapa waktu yang lama," ucap Arman sembari menyerahkan nampan dengan dua cangkir teh hangat dan sebuah wadah kecil berisi beberapa gula batu, "Kau boleh minum yang satunya."

"Eh? Be- benarkah?"

Arman mengangguk, "Sudah terlanjur kubuatkan, Asisten. Jadi lebih baik kau sungguhan meminumnya."

Aku terdiam (lagi), tindakan Arman membuatku merasa sangat senang, sekaligus sedikit bingung. Namun, setelah dipikirkan sejenak, aku memutuskan untuk menerimanya, kemudian segera berjalan kembali ke ruang kantor. Dimana kulihat nyonya Amelda sedang memeriksa ponselnya dengan tatapan kosong.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: May 12, 2023 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Detective ArmanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang