Bagian 4: Kantor Detektif

19 2 3
                                    

Keesokan harinya, entah karena alasan apa, banyak orang yang tiba-tiba mendekatiku. Mulai dari aku baru tiba di sekolah sampai jam pelajaran dimulai, para murid baik itu laki-laki maupun perempuan mengeruniku, mengatakan beberapa hal.

"Wah, kau hebat sekali, Bro! Membantu polisi memecahkan kasus!"

"Lihat! Siapa lagi pahlawan di kelas ini kalau bukan kau! Di saat kami semua dipaksa untuk kembali ke kelas, kau malah berinisiatif untuk mencari bukti kasus!"

"Jangan-jangan, malah kau yang membuat analisis untuk menangkap pelakunya! Seperti di komik-komik!"

"Kau bakal dikerumuni wartawan nih! Bakal ada orang terkenal baru!"

Aku menelan ludah, menanggapi semua perkataan mereka hanya dengan mengangguk dan tertawa kecil. Sejak dulu aku sudah terbiasa sendiri dan hanya bergaul dengan beberapa orang, makanya kejadian seperti ini membuatku merasa terganggu. Jadi, sampai jam pelajaran pertama dimulai, aku terpaksa menanggapi semua perkataan mereka, dan itu membuatku kelelahan.

Untunglah, begitu guru yang mengajar sudah memasuki kelasku, semua murid yang sejak tadi mengerumuniku sudah kembali ke tempatnya masing-masing. Beberapa dari mereka yang berasal dari kelas lain malah terbirit-birit lari, takut terkena hukuman dari guru mereka.

"Bel pelajaran dimulai sudah berbunyi dari tadi dan kalian malah buat ribut di kelas ini! Pergi sana!" Pak Rudi, guru fisika di sekolah kami segera mengangkat sapu kelas, mengusir.

***


Pelajaran terjadi seperti biasanya, tidak ada perlakuan khusus dari Pak Rudi selama jam pelajarannya berlangsung. Yah, aku tidak berharap ada sesuatu terjadi sih, terutama jika yang melakukannya adalah Pak Rudi, guru berumur 54 tahun yang terkenal sangat galak itu, hari ini dia mengajar kelas seperti biasa. Penjelasan materi yang sulit dipahami, dan langsung marah begitu ada yang mengatakan tidak mengerti dengan penjelasannya, guru idaman sekali.

"Minggu depan kalian ada ulangan! Jangan sampai dari kalian ada yang dapat 70 ke bawah!" Pak Rudi menatap tajam kami semua, kemudian berhenti begitu melihat pemuda yang baru saja menguap, "Kamu, Anton! Bapak sudah cukup dengan nilai ujianmu yang dibawah 50! Jika minggu depan kamu dapat nilai merah! Lihat saja!"

Anton yang diancam oleh Pak Rudi hanya bisa menelan ludah. Selama ini, paling parah dia hanya kena panggilan BK kalau menyangkut nilai pelajaran, tetapi melihat wajah sangar Pak Rudi saat ini, huuyyy, dia takut.

"Baiklah, karena ada masalah terkait sekolah kita, setelah ini saya ada rapat bersama para guru lain! Kalian boleh pulang!" Pak Rudi menatap layar ponselnya, mengambil buku, kemudian segera keluar dari kelas.

"Yuhu!!!!!!!"

Aku yang baru saja menguap sontak terkejut, menoleh ke sumber suara. Serius? Si Anton? Dia baru saja kena semprot kan tadi? Kok bisa cepat banget berubah moodnya?

Anton yang baru saja berseru senang kini menoleh ke arahku, kemudian berjalan ke arahku seraya hendak mengajak ke sesuatu tempat. Oi, tunggu! Jangan kau dekati aku setelah kau jadi pusat perhatian satu kelas!

"Hei, Tegar! Kau ada kegiatan sekarang?"

Yak, sudah kuduga dia akan menanyakan itu. Paling-paling jika aku mengatakan tidak ada kegiatan, dia pasti akan mengajakku ke warnet atau timezone, dan memaksaku untuk membiarkannya membayar, hanya menambah rasa berhutangku saja.

Aku menatap wajah Anton, wajah antusiasnya menunggu jawabanku. Maaf saja, kawan. Kali ini aku mempunyai alasan yang kuat untuk menolak ajakanmu.

"Maaf, Ton. Aku tidak bisa," ujarku sembari memasukkan buku ke dalam tas, "Hari ini aku mau ke suatu tempat."

"Suatu tempat ya... aku ikut!"

"Eh?"

"Kenapa? Aku tidak boleh ikut?"

Aku buru-buru menggeleng, "Tidak, maksudku, saat ini aku hanya ingin pergi sendiri. Kau tahu? Urusan pribadi."

Anton menatapku sejenak, untuk kemudian berkata, "Hmm, oke. Aku tidak akan memaksa jika itu urusan pribadimu, semoga cepat selesai kalau begitu!"

Aku mengangguk, menatap Anton yang kini sudah menghampiri teman sekelas yang lain. Anak itu, kalau misalnya ada aksi bolos massal di sekolah ini, aku yakin dia pasti salah satu pelopornya.

Aku menghela nafas, menatap sekali lagi teman-teman sekelas yang sudah asik membuat rencana, kemudian segera beranjak menuju tempat parkir sepeda. Sudah kuputuskan.

Aku akan mendatangi Arman.

***


"Jalan Kamboja, Gang 6, Nomor 5... yang ini?"

Aku mengangkat alis, membaca sekali lagi alamat yang tertera di sebuah poster yang kupegang. Poster berisi tulisan: "DETEKTIF JALANAN. MEMBUKA JASA DETEKTIF SWASTA, MENYELESAIKAN KASUS KEJAHATAN APAPUN HANYA DENGAN SATU ANALISIS. SEGERA HUBUNGI NOMOR INI ATAU DATANG KE ALAMAT YANG TERTERA." Aku yang baru saja membaca poster seadanya tersebut hanya bisa menepuk dahi.

"Kata orang kantornya yang di lantai dua kan?" ujarku penuh keraguan, namun aku tetap mempercayainya. Kunaiki tangga yang berada di samping rumah dan tiba di lantai dua. Begitu tiba di lantai dua, aku segera menekan bel yang berada di dekat pintu. Tidak ada balasan dari dalam, hingga beberapa menit kemudian terdengar suara laki-laki dari dalam, suara Arman.

"Tunggu sebentar!"

Demi mendengar perkataan Arman tersebut, aku mengangguk, menurutinya. Kutunggu hingga dirinya yang muncul. Lima menit kemudian, dia akhirnya baru membukakan pintu.

"Oh, Tegar? Kau datang kemari? Wah, berarti analisisku semalam benar. Sepertinya kau serius hendak bertemu denganku? Kuduga, berkaitan dengan kasus kemarin? Atau kau hendak menjelaskan dari mana kau tahu tentang diriku? Ah, tunggu sebentar, aku lupa belum menyuruhmu masuk. Silahkan!"

Arman membuka pintu kantornya lebih lebar, membuat pakaian yang ia kenakan nampak sepenuhnya. Itu pakaian yang tidak umum dikenakan oleh orang kebanyakan di negeri ini, lebih terlihat seperti Arman sedang bercosplay detektif seperti di cerita fiksi. Topi seperti baret berwarna coklat, jubah dan celana panjang dengan warna yang sama, serta kemeja putih polos yang dikenakan sebelum jubah. Yah, menambah kesan, mungkin?

"Masuklah!"

Aku menelan ludah, mengangguk, kemudian segera melangkah masuk ke dalam ruang kantor milik Arman. Begitu diriku sempurna masuk ke dalam ruangan tersebut, kalau boleh kukatakan, kesan pertamaku saat ini tidak begitu bagus.

Jujur, maksudku, lihatlah ruangan ini. Penuh dengan dokumen dan berkas dimana-mana. Belum lagi bekas makanan instan, bungkus cemilan, tumpukan cucian kotor, dan beberapa barang yang aku tidak tahu apa kegunaannya. Yah, aku sudah sedikit menduga kantor dari seorang detektif akan seperti ini, tapi bukankah ini sedikit keterlaluan?

"Maaf atas betapa buruknya tempat ini, Tegar. Sedikit informasi untukmu, bukan keahlianku dalam hal bersih-bersih. Pemilik tempat ini dan temanku sepertinya juga enggan membersihkannya. Jadi seperti yang kau lihat sekarang ini," Arman melepas topinya kemudian menggaruk kepala, "Yah, kau bisa duduk di sofa itu terlebih dahulu, Tegar. Aku akan membereskan sebagian kecil tempat ini. Selagi itu, kau bisa menceritakan alasanmu datang kemari."

Arman menunjuk sebuah sofa yang terletak di dekat meja kerja. Aku mengangguk, segera melangkah menuju sofa tersebut kemudian duduk santai di atasnya. Cukup nyaman, meskipun di seluruh ruangan hampir ada sampah dan tumpukan dokumen, namun di antara sofa ini dan meja kerja Arman terlihat bersih.

"Jadi, Arman. Bisakah kau ceritakan alasanmu datang kemari? Ini bukan permohonan kasus bukan?"

Aku mengangguk, saatnya bagiku untuk menceritakannya.

Detective ArmanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang