Farraz mematung dalam keterpanaan. Dalam balutan gaun merah dan riasan sederhana, Dyra—sahabat yang ia tinggalkan tujuh tahun lalu—sama sekali tidak berubah.
Apakah ia bermimpi? Apakah sosok di depan sana itu nyata?
Farraz tidak pernah melupakan wajah yang memiliki sorot tegas itu. Suara merdu Dyra seolah menariknya kembali ke masa lalu. Memesona dengan caranya sendiri. Masa di mana sumber kebahagiaan melimpah ruah. Bahkan sampai membuatnya lupa kemalangan yang ia terima saat itu.
Sebulir air mata jatuh tanpa bisa dicegah. Buru-buru Farraz menghapusnya sebelum ada yang sadar bahwa ia menangis.
Keramaian mendadak berjalan melambat, orang-orang seperti terkena sihir supaya diam. Hanya dirinya dan objek di depan sana yang bebas bergerak. Kesempurnaan yang dimiliki cewek itu seolah tanpa celah. Apalagi dengan tatanan rambut yang dipotong pendek bergelombang, diikat setengah pula. Sungguh, bak bidadari yang turun dari langit.
Farraz hendak melangkah mendekat ketika suara teriakan Diaz menyerbu telinga. Niat ingin beranjak tadi urung karena cowok itu yang menghalangi pandangannya.
“Farraz!” Diaz seketika maju, berdiri tepat di depan Farraz. Deru napas sepupunya itu naik turun dengan cepat, seperti habis ikut lomba lari maraton. “Ayo ikut gue. Tadi gue ke sana sendiri tapi disuruh pergi. Buruan!”
Farraz memiringkan wajah, bingung dengan ucapan Diaz yang tidak jelas. Sementara pundak kirinya sudah dirangkul Diaz, ia malah bertanya, “Mau ke mana?”
“Nggak usah banyak tanya, deh! Gue mau ambil soto. Lo suka banget sama soto, kan? Ayo, nanti keburu habis!” Sambil berusaha menarik tubuh Farraz yang sama besar dengannya, Diaz bersikukuh.
“Tapi nggak pakai tarik-tarikan bisa, kan? Kenapa lo nggak ambil sendiri?” Farraz berusaha melepas cengkeraman Diaz, tapi gagal.
Memang dasarnya mereka tidak terlalu jauh berbeda. Tenaga Farraz dan Diaz sama. Namun, Farraz tidak melihat sorot menyerah dari manik coklat gelap milik Diaz. Yang ia lihat sebaliknya. Buktinya, Diaz justru bisa menahannya dengan sekuat tenaga saat ia hendak pergi, tanpa kesulitan sekali pun.
“Malas. Gue sebel sama mbak-mbak penjaga stan soto. Masak lihat gue kayak lihat hantu. Mana sinis lagi.” Diaz masih berusaha menarik Farraz menjauh.
Farraz mengaduh, tarikan sekelas guru SD rupanya kuat juga. “Biasanya lo nggak peduli soal begitu, Yaz. Kenapa sekarang kayak orang habis kena rundung?”
“Ish! Nggak ada waktu buat menjelaskan panjang lebar. Gue laper banget, jadi ayo ikut. Kalau lo yang notabene keluarga penyelenggara acara, pasti nggak akan ada yang berani nantang.”
“Tapi, gue mau ke sana.” Farraz juga bersikukuh. Sedikit lagi ia akan tahu jawaban dari semua pertanyaannya. Suara Dyra masih mengalun merdu, membangunkan sisi lain Farraz yang tidak bisa ia hilangkan sejak dulu.
Farraz sebenarnya ragu untuk mendekat. Memangnya ketika sudah sampai sana, apa yang mau ia ucapkan? Apa kalimat seperti: “hai, Dyra. Kamu masih ingat aku?” atau “hai, Dyra. Kamu banyak berubah.”
Farraz menggeleng cepat. Ah, konyol sekali. Tapi, kalau ia menyerah sekarang, tidak ada jaminan ia bisa bertemu Dyra besok.
“Ayo, Farraz!” Kali ini Diaz mengerahkan lebih banyak tenaga sampai-sampai Farraz bergeser dari posisinya semula. “Ayo! Nanti keburu habis.”
“Sebentar-sebentar.” Farraz menahan Diaz sekali lagi. Ia menoleh ke arah panggung hanya untuk memastikan bahwa ia tidak bermimpi, bahwa seseorang yang bernyanyi di atas sana memang Dyra. Tapi, cewek itu sudah tidak ada di tempatnya. Yang ada malah Tante Hilda, adik kandung bunda.
KAMU SEDANG MEMBACA
Setidaknya Bukan Kamu (SELESAI)
RomanceSejak kecil, Farraz selalu dicap sebagai laki-laki penyakitan, kecil, lemah, dan eksistensinya tidak diinginkan. Alasannya karena Farraz mengidap Hemofilia yang membuatnya harus dijaga ketat oleh keluarga. Akibatnya Farraz pun sering sendirian dan b...