10. Indah Kabar daripada Rupa

124 18 1
                                    

Dyra sampai lebih dulu di restoran keluarga bertema lesehan dekat kantor ISY. Kemarin sore Farraz menghubunginya dan meminta bertemu secara langsung, bukan kebetulan seperti sebelumnya. Jika cowok itu berani menghubunginya, artinya Fifi—rekan kerjanya di ISY sudah menyampaikan pesannya pada Farraz.

Restoran yang didominasi warna hijau ini masih tergolong sepi ketika Dyra selesai bertemu pramusaji, padahal jalanan Taman Pinang macetnya minta ampun. Dia diarahkan ke gazebo paling kanan yang tidak seberapa jauh dari bangunan utama. Tempatnya pun cukup luas jika hanya ditempati oleh dua orang saja dengan satu meja kecil di tengahnya.

Sekarang masih pukul 09.52. Farraz belum menampakkan batang hidungnya ketika waktu perjanjian hampir tiba. Mungkin cowok itu bangun kesiangan, atau mungkin terlibat kemacetan di jalan. Sepertinya dugaan kedua yang benar, mengingat jalanan Taman Pinang selalu ramai pengunjung saat hari Minggu. Sampai membuat macet pula.

Tak berselang lama, pramusaji membawa pesanannya. Meletakkan sebakul nasi putih, sambal di atas mangkuk kecil, air kobokan, hingga dua ayam goreng bagian dada, dan dua gelas es teh manis. Dyra tersenyum sambil mengucapkan terima kasih.

Bersamaan dengan perginya pramusaji itu, suara motor memasuki halaman restoran. Dari jaketnya, sudah jelas ojek online. Di belakangnya ada Farraz yang langsung turun begitu sampai.

Tanpa sadar, Dyra menegakkan punggungnya. Duduk dengan posisi punggung membungkuk ternyata lelah juga. Ia hanya menunggu Farraz datang mendekat. Cowok yang baru turun dari ojek online itu terlihat berbicara dengan si tukang ojek sebentar, menyerahkan uang tanpa kembalian, lalu pergi menghampiri Dyra.

“Assalamualaikum, Ra,” sapa Farraz dan langsung duduk di hadapan Dyra.

Dyra menjawab salam Farraz. Mereka berdua duduk canggung sebelum Dyra memecah keheningan. “Kamu nggak bisa naik motor?” tanyanya.

“Ini kali pertama kamu ngajak ngomong aku dulu, Ra. Kemarin diem aja. Tapi, aku senang banget kamu nerima ajakanku.” Farraz menunjukkan deretan giginya. Ekspresinya kelewat senang. Seperti mengabaikan fakta bahwa diam-diam Dyra memperhatikannya.

“Aku tanya apa, kamu jawabnya apa.” Dyra tersenyum kecut.

Farraz tertawa kecil. “Kalau motor, aku bisa, Ra. Tapi, nggak pernah dapat izin.”

“Kenapa?” Alis Dyra berkerut, heran.

“Biasa, nasib anak bontot.” Farraz tertawa, menampilkan dua gigi kelincinya. “Udah lama ya, kita nggak ngobrol santai kayak gini.” Farraz berbicara lagi.

“Iya, kan kamu yang mulai,” celetuk Dyra sekenanya.

“Tahu, nggak? Aku sampai datengin rumahmu. Tapi, ternyata kamu udah pindah.” Dyra tahu bahwa Farraz sedang mengalihkan pembicaraan.

“Udah lama pindahnya. Kamu juga pindah rumah, kan?” Sambil bertanya, kedua tangan Dyra sibuk mengambil nasi untuknya dan untuk Farraz. Bahkan dia juga memindahkan ayam goreng ke masing-masing piring rotan yang diberikan oleh pramusaji. “Ayo, makan dulu, deh. Aku lapar.”

Ekspresi Farraz tampak senang. “Tahu aja kamu, Ra. Masih inget, ya, kalau kita suka banget makan lesehan di sini dari dulu.”

“Aku nggak mungkin lupa, Raz.” Dyra menyuapkan makanan ke mulut, begitu juga dengan Farraz. Mereka makan dengan lahap sambil sesekali menyesap es teh menghilangkan dahaga.

“Kalau gitu, kamu masih inget soal Bang Raka yang salah ambil ayam? Waktu itu lucu banget. Masak ayam di piring orang lain dikira ayamnya sendiri.” Farraz tertawa lagi.

“Gimana bisa lupa? Mas Raka punya ekspresi polos kayak nggak punya dosa.” Dyra juga tertawa. Hari ini rupanya akan menjadi hari baik. Mereka bertemu, makan bersama di tempat kenangan, dan bercerita soal masa lalu

Setidaknya Bukan Kamu (SELESAI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang