Kemeriahan malam ini dimulai lagi. Ruang pesta disulap begitu mewah dengan deretan bunga melati yang menghiasi setiap sudut ruangan. Saat pertama kali datang, para undangan akan disuguhi dengan jalan setapak yang bagian atasnya terdapat gapura melengkung bertatahkan bunga, seperti jalan menuju surga.
Semakin melangkah ke dalam, setiap pasang mata akan terpesona dengan dekorasi pelaminan yang indah. Warna putih dan krem mendominasi setiap sudut ruangan sehingga memberikan kesan mewah sekaligus elegan. Tak berhenti sampai di situ saja. Tujuh meja panjang berukuran besar ditata rapi di satu sisi ruangan lengkap dengan berbagai hidangan di atasnya. Mulai dari hidangan tradisional sampai hidangan modern, semuanya tersaji dengan pengaturan yang menggugah selera.
Farraz memperhatikan dari samping meja prasmanan sembari membawa satu gelas berisi es sarang burung di tangan kanannya, sementara tangan kirinya ia masukkan ke saku celana. Pernikahan Raka—kakak laki-lakinya ternyata berhasil juga. Bocah satu itu kentara sekali sangat bahagia saat bersama Sheina—istrinya.
Ups, Farraz lupa. Harusnya Raka sudah tidak pantas disebut bocah lagi ketika pria itu kini menyandang status baru. Padahal awalnya, Farraz sempat mengira bahwa pernikahan ini hanya berdasarkan kontrak semata. Raka tidak benar-benar mencintai Sheina seperti yang sering diucapkannya saat makan malam keluarga.
Namun, tentu saja, semua spekulasinya terpatahkan hanya dengan seulas senyum bahagia, sekaligus bahasa tubuh kedua mempelai yang menganggap dunia hanya milik mereka berdua.
“Farraz! Dari tadi ngeliatin mempelai terus. Berharap, ya?” komentar nyaring seorang cowok tiba-tiba.
Farraz seketika lupa bahwa ia tadi sedang tidak sendirian. Cowok yang banyak omong di acara resepsi malam ini adalah sepupunya yang hiperaktif, Diaz. Mereka berdua tadi memang menjadi pengiring pengantin pernikahan. Awalnya Diaz sudah malas-malasan sejak pagi, karena menurutnya semua ini terlalu ribet. Tapi, semua itu sirna ketika mata Diaz menangkap banyaknya hidangan yang tersaji di meja.
Diaz langsung pergi tanpa perlu repot-repot meminta izin Farraz. Meninggalkannya sendiri di sebelah gapura untuk menyambut tamu. Bahkan Diaz seperti tersihir oleh sesuatu.
“Sudah kenyang, Mas?” Farraz malah balik tanya. Di depannya, cowok—yang berpakaian sama sepertinya—itu nyengir tanpa dosa sembari menunjukkan sepiring penuh aneka kue di tangannya. Lantas tanpa pikir panjang segera berdiri di samping Farraz dan ikut memandangi kedua mempelai.
“Wah, mereka serasi banget, ya. Gue sampai iri,” kata Diaz lebih seperti berbicara sendiri, dengan mengabaikan ucapan Farraz, tentu saja. “Lihat deh, Mbak Sheina sama Mas Raka cocok banget pakai pakaian adat Jawa,” sambungnya lagi.
Diam-diam Farraz membenarkan ucapan Diaz. Baik kakaknya maupun kakak iparnya malam ini memang sungguh memesona. Setiap pasang mata yang hadir pasti menjadikan Raka dan Sheina sebagai bintang utama, jelas karena mereka tokohnya. Tetapi, bukan hanya karena paras rupawan yang mereka miliki. Pakaian adat Jawa yang mereka kenakan juga ikut andil. Atasan beludru warna merah dan jarik batik dengan motif Sidoluhur itu melekat sempurna, tanpa celah.
“Nanti kalau nikah, gue pengin kayak Mbak Sheina sama Mas Raka,” celetuk Diaz.
Farraz melihatnya horor. “Kenapa jadi bahas soal lo?”
“Itu kode, Farraz.” Diaz berkata sambil lalu. Tangannya setia memasukkan kue satu persatu ke mulut sampai tandas.
“Lupa ya, kalau kita saudara?” tanya Farraz lagi, mengambil langkah menjauh. Masih merasa ngeri karena Diaz mengatakan itu dengan percaya diri. Di sampingnya pula!
Diaz sepertinya tampak terganggu. Terbukti saat cowok itu menyudahi acara makannya meski ada rasa ingin sekali tambah. Piring kecil tadi diletakkan asal. Kini giliran memandangi Farraz sembari melipat tangan di dada.
“Nggak usah lo ingetin juga gue tahu, Farraz. Lagian gue juga punya pacar. Ngapain ngasih kode ke lo?”
“Kali aja lo mendadak pingin belok?”
Tenang, Farraz sudah mengantisipasi hal ini. Ketika Diaz banyak omong, maka Farraz harus lebih banyak omong daripada cowok itu. Tepat sebelum Diaz berhasil mendaratkan tinjunya pada Farraz, Farraz lebih dulu pergi menghindar.
“Farraz! Jangan kabur!”
Sayangnya kerumunan tamu undangan berhasil menelan Farraz hingga membuat Diaz kesulitan mencarinya.
***
Sepeninggal Farraz, Diaz memang berniat makan lagi. Beruntung ia lahir dengan keadaan istimewa. Seberapa pun ia makan banyak, bentuk tubuhnya akan selalu sama. Tetap atletis bak boyband Korea. Diaz kembali semangat saat mengingat hal tersebut.
“Dasar sepupu gila! Awas kalau ketemu, jangan harap gue kasih ampun!” Sembari berjalan menuju tempat soto disajikan, satu piring berwarna putih sudah bertengger manis di tangannya. Ia bertekad akan makan banyak di pesta pernikahan kali ini.
Sebelum mencapai kuali berisi soto yang menggugah selera, terlebih dahulu Diaz mengisi piringnya dengan nasi, ayam suwir, dan sambal sebagai pelengkap. Sejak kecil Diaz memang tumbuh menjadi cowok penggemar sambal, jadi tak lengkap rasanya jika makan tanpa cita rasa pedas itu. Tidak nikmat.
Diaz dengan tenang menunggu giliran ketika ponselnya berbunyi. Buru-buru ia meletakkan piringnya yang sudah penuh itu ke meja terdekat, lantas merogoh saku celananya. Setelah berhasil, ia melihat nama penelepon yang tertera di layar ponselnya. Tante Luna, ibunya Farraz. Kenapa ya? Bukannya Tante Luna juga ada di sini?
“Ah, pokoknya angkat dulu deh.”
Diaz segera menyingkir dari antrean menuju ke luar ruangan, mencari tempat sepi. “Iya, Tante?” sapanya ketika berhasil melewati banyaknya tamu undangan.
“Diaz, apa sekarang Farraz sama kamu?” Suara Tante Luna terdengar panik di seberang sana.
“Enggak, Tan. Tadi Farraz kabur, nggak tahu ke mana. Memangnya kenapa, Tan?” Mendengar suara Tante Luna yang panik, jelas membuat Diaz ikut panik juga. Pasalnya, Tante Luna terkenal sebagai wanita paruh baya yang kalem dan jarang marah, apalagi panik.
Jadi, jika suara Tante Luna bergetar karena panik, pasti terjadi sesuatu.
“Tolong! Tolong cari Farraz dan bawa dia pergi dari sini, Nak.”
Diaz terkesiap, di seberang sana Tante Luna menangis. Pasti masalah ini lebih serius daripada yang ia duga.
“Bukannya Farraz naik ke pelaminan, Tan? Kayaknya mau ikut foto-foto tadi.” Diaz masih berusaha tenang meski degup jantungnya berdetak keras sejak mendengar suara panik Tante Luna.
“Farraz nggak ke sini. Ini Tante sama Om juga nyariin Farraz. Tolong, Diaz. Kalau kamu ketemu sama Farraz, langsung ajak dia pergi.”
Diaz langsung mengambil langkah seribu setelah Tante Luna menutup panggilan telepon mereka. Ia semakin merasa panik ketika tidak didapatinya Farraz di pelaminan. Padahal cowok itu harusnya tahu bahwa ia sama sekali tidak diperbolehkan pergi jauh.
Kalau sudah tahu, kenapa bikin repot?
Ah, Diaz rasanya tidak bisa menyalahkan Farraz di saat seperti ini. Ucapan Tante Luna tadi sukses membuatnya membeku.
Tolong Diaz, jangan sampai Farraz ketemu sama Dyra. Dia yang jadi wedding singer malam ini. Sekarang tante sama om juga ikut nyari Farraz.
Sial! Kok bisa sih, Mas Raka tidak memastikan dahulu siapa wedding singer yang akan mengisi acaranya?
Diaz mencoba menelepon Farraz. Entah ke berapa kali ia berusaha sembari mencari dan menyelisik barangkali cowok itu muncul dari balik kerumunan.
Banyaknya tamu undangan yang hadir tentu menyulitkan langkahnya. Mau lewat kanan, banyak kolega Om Galang—ayah Farraz. Mau lewat kiri, ada kolega Tante Luna. Lewat tengah? Teman kampus Mas Raka dan Mbak Sheina yang ada.
“Duh, Farraz! Ngapain aja sih? Angkat, dong!”
Saat menelepon Farraz, Diaz tidak sengaja terjebak kerumunan. Sepertinya tamu undangan itu baru datang karena mereka masih membawa undangan, bukannya suvenir. Kerumunan ini berkumpul di satu tempat. Luasnya hall tetap tidak memudahkan Diaz untuk segera pergi. Apalagi, telepon cowok satu itu masih belum diangkat, semakin menambah kegeraman Diaz.“Dulu, kita bertemu saat muda.”
Suara merdu dari wedding singer ketiga malam ini menyebar memenuhi ruangan. Diaz tercekat saat mendengarnya, lantas segera menoleh ke arah panggung. Dan benar saja, itu Dyra. Bersamaan dengan hadirnya sang penyanyi, saat itulah Diaz berhasil menemukan Farraz.
***
Rasanya, pesta pernikahan Raka ini terlalu meriah. Setelah kabur dari Diaz tadi, Farraz memilih pergi mendekati Raka dan Sheina di sesi potong kue pernikahan. Daripada tidak ada kesibukan lain, lebih baik ikut menantikan dipotongnya kue. Siapa tahu ia akan mendapat potongan pertama.
Kue pernikahan Raka dan Sheina tidak tampak seperti kue pernikahan lainnya. Kue yang mereka pesan hanya terdiri atas satu lapis dengan hiasan sederhana. Bukan berbentuk piramida dengan sepuluh lapis, bukan pula kue palsu sebagai pajangan saja.
“Selamat atas pernikahan kalian!” seru pembawa acara. Suara riuh tepuk tangan ikut menyertai kebahagiaan pasangan baru ini.
Benar saja, Farraz mendapat potongan pertama. Raka sendiri yang memberikan kue itu padanya.
“Bunda sama ayah mana, Bang?” tanya Farraz ketika tidak melihat batang hidung orang tuanya.
Raka menaikturunkan bahunya. “Paling nyapa tamu undangan.”
“Selamat ya, Bang. Kalian harus cepat kasih gue ponakan!” Farraz tertawa renyah ketika Raka mengacak rambutnya penuh kasih sayang. Hanya sebentar, sebelum akhirnya mereka berpelukan. Saling memberi kekuatan antar saudara.
“Setelah ini tunggu Diaz, jangan pergi kemana-mana pokoknya.” Farraz tahu bahwa titah Raka itu sama seperti titah ayah. Tetapi, Farraz tetap penasaran kenapa ia dilarang pergi.
“Kenapa? Gue kan sekarang ada di usia dimana nggak ada yang berhak melarang lagi.”
“Nurut aja kenapa sih? Nanti kalau ....” Ucapan Raka terhenti saat Farraz menatapnya lekat, tanpa berkedip. Jika begitu, baik Farraz maupun Raka akan sama-sama tahu harus berbuat apa. Mungkin Raka merasa bersalah karena telah menyinggung titik terlarang Farraz, atau mungkin Raka tidak sepenuhnya sadar karena terlalu bahagia.
“Lo tenang aja, gue masih di dalam hall, kok. Selalu dekat dari jangkauan lo, Mbak Sheina, bunda, ayah, dan Diaz.”
Farraz tahu bahwa Raka tak akan pernah bisa berkutik ketika ia sudah berjanji. Karenanya, saat tidak mendapat tanggapan dari Raka lagi, Farraz melipir pergi. Potongan kue tadi bahkan sudah habis tanpa sisa.
Farraz merogoh saku celananya, mencari ponsel. Sepertinya berdering sejak tadi, tapi Farraz tidak sadar. Suara wedding singer di sini terlalu menggelar hingga membuat terperangah. Kenapa pula Raka dan Mbak Sheina menyewa mereka?
Saat ponsel sudah di tangannya, seketika Farraz terperanjat. “Wah, 31 panggilan!”
Semua panggilan itu dari Diaz, bunda, dan ayah.
“Nah, ini bocah nelepon lagi.” Farraz segera menempelkan ponselnya di telinga setelah menekan simbol hijau. “Apa sih, Yaz?”
“Jangan noleh!” teriak Diaz dari seberang sana.
Bersamaan dengan teriakan Diaz, suara lain ikut menerobos masuk gendang telinganya. Suara yang sangat familier hingga membuatnya merinding.
Mengabaikan Diaz yang berlari mendekat, Farraz menoleh ke arah panggung. Rasa penasaran pada wedding singer ketiga lebih besar daripada seruan Diaz.
“Farraz, jangan lihat!” teriak Diaz lagi.
Terlambat, Farraz bahkan membeku di tempatnya. Sosok yang sangat ia rindukan kini telah berdiri tidak jauh darinya, lantas kenapa ia harus mengalihkan pandangan?
***Asam di darat, ikan di laut bertemunya di belanga.
Apabila sudah jodohnya, laki-laki dan perempuan akan bertemu juga walaupun berjauhan.
-Ros-
KAMU SEDANG MEMBACA
Setidaknya Bukan Kamu (SELESAI)
RomanceSejak kecil, Farraz selalu dicap sebagai laki-laki penyakitan, kecil, lemah, dan eksistensinya tidak diinginkan. Alasannya karena Farraz mengidap Hemofilia yang membuatnya harus dijaga ketat oleh keluarga. Akibatnya Farraz pun sering sendirian dan b...