Stadion sepak bola. Biasanya penuh dengan suara berisik dengan maksud mendukung klub idolanya. Saling bersorak-sorai dengan ekspresi bahagia ketika bola berhasil masuk ke gawang. Itu biasanya, tapi sekarang tidak seperti itu.
Bagi Dyra yang duduk di tribun paling belakang, pertandingan di depannya tidak lagi menarik. Ia malah menyangga dagu sembari berpikir. Mulai dari kejadian saat itu hingga munculnya Farraz. Jelas Dyra tidak menyangka ketidaksengajaan waktu resepsi Raka kemarin akan berujung Farraz mencarinya.
Ah, apa mungkin di resepsi itu Farraz sempat melihatnya?
Jika dipikir-pikir, terlalu banyak pertanyaan di benak Dyra. Bagaimana awal mulanya pertemuan itu terjadi? Bukankah setiap kehadiran akan ada perpisahan? Tapi, setelah berpisah pun mereka masih bertemu lagi.
“Ra! Apa ada sesuatu yang menurut kamu lebih menarik daripada pertandingan klub sepak bola Sidoarjo?”
Dyra tersentak, lalu mendongak ke arah Rio yang berdiri sambil membawa balon panjang. Baiklah, Rio benar jika menegurnya. Sore ini kebetulan ada pertandingan sepak bola Sidoarjo melawan Bojonegoro. Hampir semua karyawan ISY tertarik dengan olahraga bola besar itu, makanya Gita dan suaminya secara khusus mengajak semua karyawan untuk menonton langsung. Toh, kantor ISY dengan Gor lokasinya sangat berdekatan.
Tidak ada salahnya untuk ikut. Yah, meskipun pikiran Dyra sedang berkelana sekarang. Memang benar raganya di sini, tapi tidak dengan semua pertanyaan di otaknya.
“Abaikan aku, Mas. Lagi nggak pengin ngomong.”
“Lagi PMS kali, Yo!” celetuk Putra. Cowok yang seumuran dengan Dyra itu menoleh ke arah Dyra sebentar, kemudian fokus dengan pertandingan lagi sambil meniup trompet. “Wah, jangan dekat-dekat dia! Nanti kalah!” teriaknya.
Tunggu, rasanya Dyra pernah mendengar seseorang mengucapkan kalimat itu, tapi di mana?
Anak itu sakit, jangan dekat-dekat dia! Nanti kita ketularan.
Siapa yang berbicara, ya? Dyra mencoba mengingat. Alisnya berkerut ketika ingatannya tidak sampai.
"Ra, wajahmu seram kayak habis kena rundung. Kenapa?”
Dyra melihat ke arah Ratih. Ia ingat sekarang. Awal pertemuannya dengan Farraz di sekolah ketika mereka baru naik kelas empat. Kenapa yang begitu ia bisa lupa?
***
“Anak itu sakit, jangan dekat-dekat dia! Nanti kita ketularan.”
Dyra mengernyit heran dalam langkahnya. Bukannya sekarang sudah waktunya pulang sekolah? Kenapa masih ada yang bergerombol di sudut kantin? Sambil bawa bulatan-bulatan kertas malah.
Karena rasa penasarannya yang tinggi, Dyra berjalan mendekat. Bukan apa-apa, ada seorang anak cowok yang terduduk dengan ekspresi takut di tengah-tengah gerombolan itu. Sebagai anak yang selalu dinasihati tentang kemanusiaan, Dyra jelas harus mendekati anak cowok itu.
Biasanya, siswi kelas empat SD tidak peduli dengan urusan anak cowok. Termasuk Dyra, bersama dengan teman-teman perempuannya, mereka lebih memilih saling bertukar binder, bermain bekel, atau bermain lompat tali sampai tingkat merdeka.
Namun, tidak untuk kali ini. Entah ada angin apa, ia sangat penasaran dengan apa yang dilakukan anak-anak cowok di sudut kantin.
“Kamu mau sakit kayak dia kalau main bareng?”
Dyra tahu sekarang siapa yang berbicara. Si cowok paling menyebalkan di kelas, Chiko namanya. Lagaknya seperti orang kaya dengan semua permintaan harus dituruti. Memang anak orang kaya, sih. Hanya saja, Dyra ingin memukulnya ketika cowok itu bersikap sombong.
KAMU SEDANG MEMBACA
Setidaknya Bukan Kamu (SELESAI)
RomanceSejak kecil, Farraz selalu dicap sebagai laki-laki penyakitan, kecil, lemah, dan eksistensinya tidak diinginkan. Alasannya karena Farraz mengidap Hemofilia yang membuatnya harus dijaga ketat oleh keluarga. Akibatnya Farraz pun sering sendirian dan b...