4. Bagai Bumi dan Langit

154 29 7
                                    

Dyra terkesiap saat mendengar mesin mobil yang dimatikan. Buru-buru ia pergi dari dapur dan memberikan sisa pekerjaannya pada Mama demi menyambut seseorang yang baru saja datang. Melihat tingkah laku anaknya, kedua orang tua Dyra hanya bisa menggeleng pasrah. Dyra tak ubahnya seperti anak remaja yang baru merasakan indahnya cinta.

“Ra, tomatnya belum dimasukin!” teriak Mama dari dapur.

“Nggak usah, Ma. Mas Saga nggak suka tomat!” balas Dyra. Kepalanya menyembul dari balik tembok sebentar, sebelum menghilang lagi.

Saat Dyra sampai di depan gerbang rumahnya, matanya tertuju pada mobil berwarna perak yang mereknya sama dengan nama penyanyi Hollywood. Mas Saga keluar dari mobilnya hendak membuka pagar, tapi sudah didahului oleh Dyra. Alhasil cowok itu masuk lagi dan memarkirkan mobilnya di teras rumah.

Mas Saga masih mengenakan pakaian formal. Artinya cowok itu baru saja pulang dari rumah sakit tempatnya bekerja. Mereka sama-sama tersenyum lebar saat bertemu. Lantas Dyra yang lebih dulu maju memeluk cowok itu yang dibalas usapan lembut di kepala.

“Mas Saga udah makan?” Dyra mengurai pelukannya sambil menggandeng tangan Mas Saga.

“Kenapa memangnya? Kamu lagi masak sekarang?”

Dyra mengangguk cepat.

“Kalau kamu yang masak, meskipun Mas udah makan, tapi tetep laper lagi.”

“Dih, bisa aja. Tapi emang bener sih aku lagi masak. Dibantuin Mama di dapur.”

“Kamu masih aja manja.” Mas Saga mencubit hidung Dyra gemas. Mereka lantas tertawa sebentar, sebelum hening menyelimuti mereka.

Dari tempatnya berdiri, Saga mengamati Dyra. Salah satu tangannya terangkat, mengarah ke wajah Dyra yang menatapnya penuh tanda tanya.

“Kamu punya kantung mata. Habis nangis, ya? Kenapa?” tanya Saga tiba-tiba.

Dyra tersentak. Jangan sampai Saga tahu alasannya. Dalam hati, Dyra benar-benar merutuki dirinya yang ceroboh. Kenapa menangis semalaman hingga menimbulkan bekas di wajahnya?

Sejak pertama kali Dyra bertemu Saga, cowok itu sudah menunjukkan tanda-tanda kepekaan yang kuat. Cowok itu bisa dengan tepat menebak apa yang Dyra alami saat itu.

Saat Dyra berumur 14 tahun, ia berada di depan rumah yang gerbangnya tertutup, di kompleks Perumahan Sidokare. Dyra menekuk lututnya sambil sesekali terisak. Saat itu malam hampir menjemput, tapi Dyra seolah tak punya rasa takut. Dalam keheningan itu, Saga menghampirinya sambil bertanya, “Kamu habis ditinggal pergi seseorang, ya?”

Pertanyaan itu tepat sekali mengenainya. Dyra lantas mendongak. Matanya bertemu pandang dengan tatapan penuh kasih yang belum pernah ia lihat sebelumnya. Tanpa berniat menjawab, ia malah menangis lebih keras.

“Ra?” Saga menggoyangkan telapak tangannya di depan wajah Dyra.

Kembali Dyra tersentak. Ingatan yang bikin malu itu datang lagi. Buru-buru ia menggeleng cepat sebelum menggandeng lagi tangan Saga. “Ayo masuk, Mas,” katanya kemudian.

Sepertinya Saga menyadari bahwa Dyra tidak ingin membahasnya lebih jauh. Dyra sangat bersyukur bahwa Saga termasuk cowok yang bisa diajak kerja sama. Saga tidak hanya sangat peka, tapi juga pengertian.

“Mas nggak akan mundur untuk kedua kali ya, Ra!”

Baiklah, ralat. Dyra tidak jadi memuji cowok yang ia gandeng saat ini. Ternyata sifat pantang menyerahnya tidak pernah hilang.

“Mas dari rumah sakit tadi? Atau pulang dulu?” Dyra malah bertanya hal lain. Padahal mereka sudah sampai di ruang makan, tapi tetap lengket macam surat dan perangko. Alhasil keberadaan Mama dan Papa Dyra dilupakan.

Setidaknya Bukan Kamu (SELESAI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang