"Bisa-bisanya lo kayak gini habis berantem sama Nanta."
Bibir bawah Gio terangkat, kedua tangannya terlipat di salah satu meja warung kaki lima, seraya menatap makanan di hadapannya tidak selera. Bukan karena tidak enak, bau gurih, asin, dan manis membuat perutnya bebunyi lapar.
Ah, sepertinya Dikta salah mengajaknya keluar setelah usai menyelesaikan masalah Nanta.
"Minum, nih. Lemes amat."
Gio menyambar segelas teh dingin, lalu memperhatikan Dikta yang sudah duduk di hadapan. Ya, bersama beberpa pisang goreng di piring plastik. "Bang ...."
Kedua alis Dikta terangkat, meraih beberapa lembar tisu guna mengurangi minyak yang mengendap di gorengan. "Kenapa? Mau? Habisin dulu punya lo sana."
Gio membasuh tangan sejenak, sebelum fokus pada makanan. "Gue nyakitin Adek nggak, ya, Bang?"
"Makin nyakitin kalau kita biarin Nanta gitu aja. Lagipula lo negur dia ada alasannya, nggak masalah." Dikta menekuk sebelah kaki, menopangnya di paha. "Ini pertama kalinya lo hadapi situasi kayak gini?"
"Gue sering berantem sama Bang Rean, kan?" tanya Gio balik. "Cuma nggak pernah sama lo dengan Nanta."
Dikta hanya mengembus napas panjang, menanggapinya. Ah, Gio yang terlihat kasar dan berulah di hadapan Rean, sementara begitu lembut di hadapannya. Dua kepribadian bertolak belakanng dari sampul luar dan bagian dalam diri. "Lo mengingatkan Nanta, itu wajar."
"Nggak wajar kalau gue udah marah-marah sama dia." Gio kembali cemberut, meengaduk makanannya begiitu saja meskioun seesekali mengunyahnya dengan porsi kecil. "Gue yang berusaha jaga dia, tapi pada akhirnya gue sendiri yang lalai. Seandainya gue nggak gini, nggak gitu, mendadak banyak pikiran yang muncul."
"Lo udah minta maaf sama Nanta?" tanya Dikta, mengaduk kopi hitam panasnya. Namun, secepat mungkin mendelik lalu membiasakan diri saat cita rasa pahit menyentuh lidah.
Gio mengangguk. "Bahkan dia masih sempat-sempatnya bilang terima kasih karena gue udah jagain dia. Jagain apa padahal?"
"Nanta benar, elah." Dikta mencondongkan tubuh, menepuk bahu Gio menyemangati. "Gue juga mau bilang makasih karena udah bantu gue jaga Nanta."
Gio mendesis, mata itu menatap tajam lalu memasukkan beberapa suapan dengan porsi banyak hingga pipi itu mengembung. "Nggak perlu makasih, lo abang gue, Nanta adik gue."
"Sama-sama," koreksi Dikta, mengabaikan gerutan Gio.
"Iya, sama-sama," dengkus Gio, menekankan. "Menurut lo, apa mereka berdua baik-baik aja di rumah?"
Dikta menyeruput kembali minuman, lalu tersenyum sinis. "Selagi bukan cuma lo yang berdua sama Rean, gue masih yakin rumah bakal aman."
Gio mengumpat, menyelesaikan makaan dengan semangat lalu menyambar pisang goreng yang tersisa satu di piring Dikta. "Punya gue."
KAMU SEDANG MEMBACA
Brother Notes [OPEN PRE-ORDER]
Teen FictionDi dunia yang menyebalkan ini, ada sebuah rahasia yang paling ingin Rean sembunyikan hingga mati. Tidak peduli orang-orang menganggapnya seperti apa, yang pasti biarkanlah rahasia penuh kelam itu menjadi tanggungannya. Namun di sisi lain, semenjak k...