10. Para Pekerja Wanita

43 10 0
                                    



15.40.

Sudah siap?

Gawai Bia bergetar ketika sebuah pesan masuk dari Damar datang.

Bia sedang sibuk memilih-milih gaun yang terbatas. Memadu padankan atasan dan bawahan yang berwarna biru langit. Tak banyak, dan membuatnya semakin bingung.

15.45.

Sebentar.

Bia keluar dari studionya, masih dengan setelan rumahan. Bermaksud menuju butik di sekitar tempat tinggalnya untuk membeli sepotong gaun yang ia butuhkan.

Ternyata mobil Damar sudah terparkir di depan. Damar turun dengan sebuah paper bag berwarna putih lalu menghampirinya.

"Mau kemana?" tanyanya.

"Anu... aku nggak punya gaun warna biru langit jadi aku..."

Damar menyerahkan bingkisan yang ada di tangannya, "Sudah kuduga. Lagian dress code-nya aneh-aneh sih. Biasanya orang lain pakai hitam atau putih yang netral dan semua orang punya ini malah warna biru langit. Menyusahkan."

"Nggak usah, Kak. Di depan situ ada butik kok."

"Jadi maksudmu aku yang suruh pakai gaun ini?"

"Eng-nggak. Aku cuma nggak mau ngerepotin Kak Damar."

"Kalau begitu pakai saja. Apa repotnya sih? Emangnya kamu yakin di butik depan itu mempunyai stok gaun berwarna biru langit?"

Bia terdiam. Ia ambil bingkisan dari tangan Damar dan kembali masuk ke studionya.

Damar masih menunggu di depan mobilnya.

Saat Bia keluar dan menuruni tangga di depan studionya, tampak seperti Cinderella dengan gaun selutut. Bahunya terbuka, tampak putih seperti susu. Lekukan tubuhnya tampak sempurna dibalut gaun tersebut. Dengan rok mengembang, mempertegas bentuk pinggang yang ramping.

Damar lupa berkedip sampai Bia benar-benar berada tepat di depannya.

"Ayo, Kak."

"Ah iya, ayo berangkat."

Saat mengemudi, Damar berulang kali mencuri pandangan pada gadis di sampingnya yang hari ini tampak begitu elok menawan.

"Tadi nunggunya lama, Kak?" tanya Bia tiba-tiba.

Yang ditanya tergagap, "Hah- engg-enggak kok."

"Oh. Syukurlah."

Dalam perjalanan dilingkupi keheningan karena Damar masih sangat gugup. Tiga puluh menit terasa lama sekali dengan suasana serba canggung.

Berulangkali Bia menarik roknya yang terangkat hingga atas lutut. Menyadari hal tersebut Damar menepikan mobilnya dan melepas sabuk pengaman yang ia kenakan.

"Mau apa, Kak?" Mata Bia terbelalak memikirkan yang tidak-tidak.

Damar masih terdiam lalu melepaskan jas yang ia pakai. Bia semakin bingung.

"Buat nutupin bagian bawah," Damar serahkan jasnya lalu menggunakan seat belt-nya kembali.

Bia menuruti perintah Damar. Mobil melaju kembali dengan kecepatan tinggi berharap segera sampai pada tempat pertunangan Reno dan Wima.

**

Pesta pertunangan Reno dan Wima berlangsung dengan lancar dan sangat intim. Hanya dihadiri oleh keluarga inti dan sahabat-sahabat terdekat. Bia berkaca-kaca mengingat bagaimana perjalanan mereka dan tantangan apa saja yang telah mereka lalui hingga bisa sampai tahap ini.

PuanmeterTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang