4. Wanita dan Perasaannya (II)

53 19 2
                                    

Di hari kelima Rendy menjadi supir pribadi Bia menggantikan Choky, ia ikut masuk ke dalam ruang kerja gadis itu. Ia beralasan bahwa ada hal yang perlu disampaikan pada Sheba.

Bia membuka pintu kantornya dengan kartu sebagai kunci yang telah di duplikat khusus oleh pihak hotel untuk mereka. Satu kartu lagi dibawa Sheba, dan kartu cadangan di resepsionis hotel untuk mengatasi apabila ada hal darurat yang mungkin saja terjadi.

"Tunggu sebentar, Kak. Mungkin sebentar lagi Sheba datang. Mau kopi?" tawar Bia sambil melangkah menuju mejanya. Gadis itu meletakkan tasnya dan menekan tombol power pada komputer lalu berjalan ke pantri.

"Aku nggak ngopi, Bi. Teh aja kalau ada."

Sebuah anggukan kepala Bia arahkan pada Rendy. Bia mengisi teko elektrik dengan air di dispenser yang tak memiliki fitur pemanas dan pendingin. Tak lama Sheba memasuki ruangan.

"Aku juga, Bi." Cetusnya ketika melihat apa yang Bia lakukan sebelum ia menyadari, "loh, Mas Rendy ada perlu apa? Tumben mampir dulu pagi-pagi?"

Rendy segera berdiri lalu mendekat pada Sheba yang masih terpaku di depan pintu. Ia merogoh tas jinjingnya dan memberikan sesuatu pada Sheba. "Undangan dari Arjuna."

Hati Sheba mencelos ke dasar palung Mariana. Dengan tangan gemetar ia raih kartu undangan berwarna merah hati dengan bentuk yang mirip dengan kartu kunci ruangannya sebagai akses memasuki ballroom tempat diselenggarakan pesta pernikahan. Bedanya, kartu kunci di ruangannya berukirkan nama hotel yang menyewakan ruangan ini. Sedangkan undangan Arjuna tercetak tiga nama. Sayangnya nama Sheba Cellam tertulis di bagian "tamu" bukan di samping nama Arjuna sebagai mempelai wanita.

"Terimakasih," dengan sebuah ulasan senyum terpaksa, Sheba tak mampu menyembunyikan getaran di suaranya.

"Kamu nggak harus datang, kok," hibur Rendy.

Dengan nampan di tangan, Bia mendekati mereka. "Mari diminum dulu," ajaknya kepada kedua sahabatnya agar duduk di sofa tamu.

Secangkir teh dan dua cangkir kopi susu tersaji di samping stoples-stoples kukis. Rendy menghirup tehnya terlebih dahulu. Mencari ketenangan dari aroma herbal tersebut, mengalihkan ketegangan yang ia rasakan semakin menyesak di ruangan ini.

Tangan Bia menggosok bahu Sheba. Ia tahu ini hal yang sulit bagi sahabatnya. Terlebih, meski Sheba tak pernah membahas perasaannya lagi tentang Arjuna, bila mengingat percakapannya beberapa waktu lalu, Bia tahu ia masih menyimpan rasa sayang pada sang mantan.

"Benar kata Kak Rendy, Ba. Kamu nggak perlu datang."

"Nanti aku dikira masih ada rasa sama dia."

Bukannya memang iya?

"Kalau kamu datang ke sana tanpa pasangan malah tampak lebih menyedihkan, terlebih reaksimu menerima undangannya saja seperti ini. Apalagi nanti apabila bertemu para mempelai." kritik Rendy dengan cukup pedas, namun realistis.

"Jangan paksakan dirimu, Ba."

"Kalau mau, aku punya penawaran."

Sheba dan Bia melongok pada Rendy, penasaran dengan penawaran apa yang akan pria itu berikan.

"Bagaimana kalau kita berangkat bersama? Orang yang kusuka menyukai wanita lain, tak perlu khawatirkan soal itu."

Tentu saja Rendy juga diundang, kan dia teman sekantornya. Kenapa tak terpikirkan?

**

"Kenapa sih, Bi, harus ngundang aku segala? Dia mau pamer kalau nikah duluan apa?" histeris Sheba di tengah kegiatannya mencari isu yang bisa diangkat ke dalam artikel.

PuanmeterTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang