Satu

549 76 19
                                    

Kedua netra itu mengerjap pelan kala seberkas sinar tiba-tiba menyilaukan mata. Langit diluar masih cukup gelap sejujurnya. Pukul 4 dini hari, namun suara dengingan yang mengusik sudah menyapa gendang telinga. Shin Haechan, pemuda yang tengah terduduk dengan wajah terkejut mendesah pelan. Beberapa saat ia sentuh dadanya, berusaha menetralkan kembali degup jantung yang tadi sempat menggila. Peluh sebesar biji jagung membasahi dahinya. Ia tersadar, rupanya Tuhan masih berbaik hati beri satu kesempatan untuk berkelana di dunianya.

"BANGUN!"

sebuah teriakan dan ketukan—ah, tidak! Lebih tepat bila disebut gebukan—pintu terdengar. Shin Haechan sedikit meringis begitu mengetahui jika pagi harinya hari ini akan sama seperti pagi-pagi 15 tahun sebelumnya. Selalu akan begini.

Seorang pemuda yang berusia lebih tua setahun dari Haechan, kakaknya, masih asyik bergelung di bawah selimut. Seolah suara memekakan telinga diluar, atau berkas cahaya yang menyilaukan mata, bukan sebuah hal untuk mengganggu tidurnya. Haechan terkekeh pelan, paham betul, jika kakak laki-lakinya ini baru tidur pukul 3 dini hari tadi. Merampungkan yang katanya tugas kuliah milik seorang gadis yang mungkin masih bergelung di dalam selimut di kamarnya yang hangat.

Tangan pemuda itu terulur, mematikan dering alarm yang makin memekakan telinga. Ia langkahkan kakinya turun dari ranjang tingkat berbahan kayu yang tampak kumal, kemudian mematikan  sakelar yang akan hidup secara otomatis pada jam-jam tertentu. Haechan dan Hendery, kakaknya, menyebut sakelar itu sebagai perebut mimpi. Sebab, kedua lampu dan alarm—serta suara gebukan pintu dari luar— selalu menyadarkan mereka untuk terus terjaga. 

"HAH! Astaga!" Hendery melompat begitu lampu padam. Nafasnya berderu tidak beraturan. Matanya mengerjap dengan warna merah khas orang yang kurang tidur dan lingkaran hitam dibawah mata. Sepertinya ia terbangun karena Haechan memadamkan lampu. "Astaga, apa aku kesiangan?"

Shin Haechan terkekeh kecil menatap mata merah sang kakak yang tampak panik.

"Gapapa, kak. Tidur aja. Aku tau kok, semalam kamu tidur jam berapa." Ucap pemuda itu menenangkan. Ia dorong tubuh Hendery agar kembali terduduk di dipan kayu miliknya yang beralas kasur keras. "Tidur lagi aja, gapapa. Biar tugasmu aku yang handle."

Hendery mungkin masih belum dalam kondisi 100%nya, sehingga ia menurut dan kembali terlelap. 

Suara gebukan pintu dari luar seolah tidak mau berhenti. Pemuda bermarga Shin itu menghela nafas pelan. Yah, saatnya menghadapi satu hari ini, kan?

"Iya, sebentar." Haechan berujar pelan, memberi tanda si empunya di luar agar berhenti menggebuk pintu yang-mungkin-semakin reot karena digebuk dengan bringas. Perlahan ia langkahkan kakinya keluar. Matanya terpejam sebentar dengan kedua tangan melingkup diatas dada. Ia menarik nafas panjang.

Tidak apa, aku pasti bisa.

**

"Molor lagi, ya?" Adalah satu ucapan pembuka selamat pagi untuk Haechan hari ini. Kedua tangannya tengah sibuk dengan berbagai peralatan domestik, menyiapkan air panas untuk menyeduh satu pot teh hijau hangat. Mereka terbiasa menikmati satu cangkir teh hijau sembari berbincang ringan atau membaca koran pagi sebelum menyantap sarapan dan beraktifitas. Well, itu sudah menjadi kewajibannya setiap pagi selama berbelas tahun belakangan ini. "Hendery mana?" suara itu bertanya lagi. Seperti biasa, dengan menggunakan nada yang dingin. 

"Hendery sedang tidak enak badan, Tuan." Jawab Haechan pelan. Ia berbalik dan menghentikan sejenak kegiatan meracik tehnya saat menjawab pertanyaan seorang pria yang baru saja menginjakkan kaki ke dapur.  "Mohon maaf, biar aku yang akan mengerjakan tugasnya." Sambung Haechan lagi menjelaskan.

(Not) A Cinderella StoryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang