Sama

30 8 17
                                    

Aku melihatnya di depan sana, tepat di depan gerbang rumahku. Sendirian, tak ada yang mau berteman dengannya hanya karena sebuah hal yang aku tidak begitu paham apa itu.

Kutatap dia lebih lekat, kudekati gerbang hingga kedua tangan berhasil meraihnya,terlihat dia sedang bermain boneka seorang diri dengan wajah suram dan gelap. Seolah tak ada warna lain yang dia tahu selain kesedihan.

"Hai," sapaku, mencoba memancing perhatiannya. "Hei, siapa namamu?"

Sejenak dia terhenti dengan aktivitasnya yang hanya itu-itu saja. Memainkan boneka seperti sedang menari, atau melompat, mungkin? Ah, aku tidak begitu paham permainan anak perempuan.

Perlahan, dia menoleh dengan kedua matanya yang besar, tapi juga menggambarkan kekosongan jiwanya. Dia bahkan tidak tersenyum padaku.

"H-hei, bolehkah aku tahu siapa namamu?" Sekali lagi aku bertanya dengan memberikan senyuman terbaikku. Namun, sama seperti saat menoleh, dia tidak tersenyum membalasku.

"Aku Mei." jawabnya dengan suara kecil sampai hampir tidak terdengar.

"Bolehkah aku bermain denganmu? Aku punya banyak mainan di sini, kita bisa bermain bersama dan lebih seru." Tanpa ragu aku mengajaknya untuk berpindah ke sisiku, tapi sedetik kemudian dia menolak dengan menggeleng pelan, kemudian kembali menatap bonekanya.

Rasa kecewa segera memenuhi dadaku, sedikit sakit dan juga menyesakkan, tanpa kusadari kekosongan Mei sedikit mengalir padaku, sampai aku paham mengapa sikapnya dingin seperti itu.

Esoknya saat aku hendak ke sekolah. Kembali kulihat Mei di teras rumahnya, dengan pemandangan serupa kemarin, yaitu bermain boneka lusuh yang sudah tak jelas bentuknya. Kudekati gerbang untuk menyapanya.

"Hai, Mei. Apakah kau tidak bersekolah hari ini?"

Mei menoleh sekilas, kemudian kembali menatap boneka dan menggeleng pelan, jawaban serupa seperti ketika aku mengajaknya bermain. Tak ada pilihan, aku menjauhi gerbang untuk menaiki mobil yang akan mengantarku ke sekolah.

Di sepanjang perjalanan, juga di sekolah, pikiranku tak bisa lepas dari sosok Mei yang begitu misterius. Aku belum pernah bertemu dengannya sejak pertama kepindahan keluargaku, aku juga tak ingat ada rumah Mei di samping kiri rumahku. Namun, obrolan soal keluarga Mei sudah menyebar di sekeliling wilayah tempatku tinggal bagai virus saat ibu pertama kali pergi ke warung sayur.

Katanya rumah itu pernah dihuni oleh keluarga sederhana, hanya ada suami, istri dan satu anak perempuan. Suatu malam rumah tersebut menjadi target perampokan, seluruh anggota keluarga terbunuh. Ada juga rumor kalau kedua orang tua si anak pergi bekerja, kemudian terjadi kecelakaan dan menewaskan keduanya, sejak saat itu sang anak tak terlihat lagi akibat depresi kehilangan orang tua.

Jika benar seperti itu kejadiannya, lalu siapa Mei? Apa dia hanya anak gelandangan yang menumpang di rumah kosong?

Kuingat lagi rupa Mei. Dia kecil, manis, tapi juga lusuh seperti jarang mandi. Boneka yang dia pegang pun seperti boneka yang dipungut di tempat sampah. Mungkin aku akan membelikan boneka baru yang bagus untuknya.

Bel pulang sekolah berbunyi tanpa aku sadari, dengan semangat aku memasukan semua peralatan sekolah ke dalam ransel dan bergegas ke luar kelas. Aku ingat terdapat sebuah toko boneka dan aksesoris di samping sekolahku. Yeah, sebuah lokasi yang strategis agar jualannya lalu, aku akan berkunjung ke situ sebelum ayah datang menjemput.

Sekolahku sendiri berada tepat di sisi jalan raya, dengan begitu aku harus berhati-hati dalam melangkah sebab ada saja pengendara yang tak tahu diri, ugal-ugalan seperti penguasa jalan. Begitu kakiku keluar gerbang hendak menuju toko boneka, tak begitu jauh terdengar suara klakson panjang dan juga tubrukan, yang kemudian menjadi gesekan aspal keras hingga memekakkan telingaku. Sebuah pemandangan di depan sana memperlihatkan sebuah kecelakaan tragis, seorang pengendara motor terlindas ban truk hingga tak berbentuk.

My World Of Silence (Kumpulan cerpen)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang