Laptop yang sudah menemaniku sejak jam delapan pagi itu kututup, membawa serta rasa lelah bercampur lega di tubuh dan hatiku. Akhirnya jam pulang kantor tiba, meski nyatanya jam pulang kerja sudah lewat empat jam lalu, tapi bagiku si tukang lembur ini, jam delapan malam merupakan jam pulang ngantor yang sebenarnya.
Gedung kantor sudah gelap sejak senja menghilang, diserap kegelapan malam yang kemudian menimbulkan aura mistis, belum lagi karena hanya ada aku di sini membuat perasaan itu semakin kuat, tapi di satu sisi aku tidak begitu peduli. Selama apapun itu tidak benar-benar menampakkan diri dan dapat kusentuh, aku tidak begitu percaya. Jadi lembur sampai selama apapun aku tidak mendapati hambatan.
Suara langkah kaki menggema mengikuti ke mana aku pergi. Letak basement yang cukup jauh sedikit membuatku malas, padahal sudah delapan tahun aku bekerja di sini, tapi tak pernah sekalipun aku menjejakkan kaki di lift, aku punya alasan sendiri yang cukup perfeksionis di kala menaiki lift, sehingga itu pula yang membuatku rela berjalan jauh agar terhindar dari rasa stres akibat sesuatu yang tidak terpenuhi di tempat seharusnya.
Tak begitu lama kakiku sudah tiba di basement yang gelap gulita karena bagian inilah yang tidak dipasangi lampu, meski begitu aku masih dapat menemukan mobil Porsche putihku, sengaja tak kuparkirkan terlalu jauh dari gardu agar mudah ditemukan. Aku langsung menyalakan mesin setelah duduk di kursi pengemudi dan segera keluar dari area kantor, melaju di jalanan dengan kecepatan sedang.
Ternyata tidak hanya suasana kantorku saja yang sudah sepi, tapi jalanan kota pun hanya satu dua pengendara di jalur jalanku. Ada untungnya juga jalanan lowong seperti sekarang, aku dapat meningkatkan kecepatan mobilku tanpa harus takut menabrak sesuatu yang tidak perlu.
Ya, sesuatu yang tidak perlu.
Hanya dalam waktu setengah jam mobilku sudah terparkir di halaman rumah, mesin kumatikan dan aku bersiap untuk turun ketika tiba-tiba sebuah perasaan yang entah mengapa menyerang begitu saja, rasa gelisah yang membuatku tidak nyaman, menuntutku untuk melakukan sesuatu, Melakukan yang bisa saja kulakukan saat berkendara tadi, atau juga saat berangkat kerja. Yang jelas rasa ini ingin agar aku memenuhinya saat ini juga.
Sampai tujuh menit kedepan aku tetap terdiam di dalam mobil, bergeming di halaman rumah bersama kegelapan dari lampu yang belum dihidupkan. Kaki dan jari tidak mau berhenti gemetar serta mengetuk, aku menggigit bibir bawah sekuat tenaga untuk mengusir rasa itu, sampai akhirnya apa yang kulakukan justru membuat bibirku berdarah.
Arrgh, bagaimana caranya mengusir rasa gundah ini?
Tanpa bisa membantah rasa, kuhidupkan lagi mesin mobil, meninggalkan halaman rumah dan kembali ke jalanan sepi. Berkendara ke tak tentu arah, hingga tanpa dirasa aku tiba pada sebuah persimpangan yang sedang menunjukkan lampu merah tak begitu jauh dari pandanganku, sementara di jalanan tak ada pengendara lain selain aku.
Semakin aku mendekati zebra cross, di depan sana terlihat seorang pria muda hendak menyebrang jalan dengan pandangannya sendiri fokus memainkan handphone. Setelah orang itu berada tepat di tengah jalan, aku langsung tancap gas dan sengaja menabrak lelaki muda itu hingga tubuhnya terpental.
Aku langsung keluar dari mobil dan berlari kecil ke tempatnya terkapar tak sadarkan diri. Dengan cepat kurogoh apapun yang ada di saku dan membuangnya ke tempat sampah terdekat, lalu menuntunnya berjalan ke mobil, setelah dia di posisi aman kutancap gas dan kembali melaju kencang membelah jalanan.
Tidak sampai 15 menit, mobilku sudah terparkir cantik di halaman rumah, dengan sigap pula kembali kutuntun lelaki muda tadi berjalan ke rumahku, tanpa sungkan kubiarkan dia masuk ke bagian terdalam rumah dan tidur di sofa panjang.
Aku sendiri duduk di sebuah single sofa dan membiarkan pria itu pingsan di sana. Kutatap wajahnya yang sebenarnya rupawan jika saja dia mencukur kumis dan janggutnya, aku mulai menimbang-nimbang apakah dia pantas untuk ini? Mengapa tidak kujadikan kekasih saja seperti wanita-wanita lain di kantor? Ah sudahlah, hal yang harus kulakukan jauh lebih penting dibanding sebuah hasrat dan rasa kasihan.
Aku masih menunggu di single sofa sampai keesokan harinya, pun tanpa merasa kantuk di mata. Sebab perasaan gila inilah yang membuatku tidak sabar menunggu dia sadarkan diri, belum lagi permainan tidak akan seru jika dia masih pingsan seperti itu dan aku terpaksa harus menyeret tubuhnya lagi.
Setelah kutunggu lebih lama, tepat saat matahari terbit, si pria tersadar dan menemukanku yang berada tidak begitu jauh darinya.
"Uugh, di mana aku?" dengan polosnya dia bertanya dan menatap kedua mataku.
"Kau sedang ada di rumahku," jawabku dengan nada riang, aku senang akhirnya dia sadar.
"A-apa yang terjadi? Aku tidak begitu ingat."
"Kau tertabrak mobil, mobil itu kabur tepat saat aku hendak menabraknya agar tanggung jawab setelah menubrukmu."
"Oh, terima kasih."
"Apa kau sudah bisa bergerak? Aku lelah mengangkatmu terus. Mari ikut denganku."
Tanpa merasa terpaksa pria muda itu menurut, dengan sedikit sempoyongan dia berjalan di belakangku menuju ke satu-satunya lift di rumah ini. Walau bisa dibilang rumahku hanya ada dua lantai, tapi aku lebih terbiasa menaiki lift saat di sini, karena sifat perfeksionisku dapat terpenuhi.
Aku menoleh padanya setelah menekan tombol lift, "hei, bisakah kau sedikit mendekat?"
"O-oh tentu saja." Lagi, dia menuruti apa permintaanku tanpa merasa keberatan. Di tanganku sendiri sebuah pengait kecil sudah kugenggam sejak aku menekan tombol lift, pengait ini sendiri terpasangi sebuah temali yang terhubung denganku.
"Oke, terima kasih." Aku selesai memasangkan pengait tadi ke kerah bagian depan baju lelaki ini dan sedikit menjauh.
Sedikit jeda terasa bagai puluhan tahun bagiku. Si pria sendiri hanya bungkam dengan berbagai pertanyaan yang tampak pada rautnya. Sampai kemudian suara khas bel lift terdengar bersamaan dengan pintu yang terbuka, sebuah pemandangan sedikit sempurna terlihat di dalam lift, yaitu percikan cairan berwarna merah pekat dengan bau amis khas.
Sebelum masuk, aku menahan si pria muda di dekat pintu. "Kau tunggu di sini, aku akan naik sebentar."
"Emm, baiklah." Dia menjawab dengan sedikit menoleh ke dalam lift. Rautnya sendiri tampak kebingungan seperti anak kecil yang terlalu banyak ingin tahu, membuatku semakin gemas untuk melakukan apa yang kutunggu sedari malam.
Dalam satu langkah aku masuk dan berdiri di tengah-tengah ruangan lift, sementara si pria ada di luar lift dengan tatapan keheranan pada percikan merah di dinding lift. Tak lama suara bel kembali berbunyi yang menandakan pintu akan tertutup, tepat saat itulah tali yang terhubung ke kerah baju si pria kutarik sekuat tenaga hingga membuat si pria terjerembap dengan kepala yang berada tepat di ambang pintu, sekejap pintu lift sudah tertutup dan memenggal kepala pria itu tanpa bisa dia cegah, mencipratkan sedikit darah dari tubuhnya yang tertinggal di luar, juga menguarkan aroma amis kesukaanku.
Kupungut kepala si pria yang menggelinding ke dekat kaki, kutatap lekat matanya dengan perasaaan senang di dada. Akhirnya rasa gundahku hilang karena suasana lift ini sudah sesuai sebagaimana mestinya, sifat perfeksionisku terpenuhi di sini. "Selamat pagi, pria tak kukenal, sungguh sebuah kehormatan kau mau mati di tanganku."
Tanpa bisa kutahan, aku tertawa lepas sambil memeluk kepala itu. Selain hasrat perfeksionis, ini juga merupakan sebuah cara penyambutan pagi yang dilakukan ibu pada ayah sepuluh tahun lalu.
KAMU SEDANG MEMBACA
My World Of Silence (Kumpulan cerpen)
Short StoryPernahkah kau berada di tengah hutan, ditemani suasana gelap dan seramnya? Atau pernah bertemu dengan psikopat yang menjalankan rutinitas paginya seperti manusia normal, hanya saja dengan cara berbeda? Terjebak dalam sebuah dunia penuh fantasi, berm...