Alkohol

13 3 1
                                    

Author's Note: ini entah cerpen atau cermin, mentok di 900an kata, enjoy saja lah.

—————————————————————————————————

Apa yang ada di pikiranmu saat mendengar kata Alkohol?

Hal haram dalam agama? Bahan berbahaya yang dapat merusak badan? Dan juga beberapa pandangan negatif lainnya yang langsung terlintas sekejap setelah kata itu terdengar? Yang ingin kuberitahu dari salah satu ceritaku mungkin bisa sedikit mengubah cara pandangmu.

Hari biasa saat itu. Kala menjelang petang, sudah menjadi rutinitas dariku menyuruh adik laki-laki membeli dua botol alkohol di toko langganan, jaraknya tidak begitu jauh dari rumah jadi adik masih dapat berjalan kaki untuk membelinya.

Kali ini adik begitu cepat membeli benda tersebut, kupikir ada apa dengan alkoholnya, tapi begitu kucek kondisinya tidak masalah, barang pesanan masih dibungkus dengan kardus tipis dan dimasukkan ke dalam kantung plastik, seperti biasa.

“Kak, tadi kulihat ada poster pacar Kakak di papan pengumuman.“ Adik langsung berkata ke inti permasalahan yang membuatnya berbelanja cepat hari ini, sambil mengerahkan dua botol alkohol itu. “Tulisannya “Dicari”.“

Aku mendengkus kasar; mendecak pelan sebelum menjawab. “Ya sudah, itu akan kuurus nanti.“

Adik membalas dengan anggukan pelan lalu kembali bermain di luar. Sementara aku terduduk seorang diri di kursi ruang tamu, mata menerawang dengan pikiran berkelana ke masa lalu, ke waktu-waktu kebersamaan dengan kekasihku yang dikabarkan hilang sejak sebulan lepas.

Siapa pula yang tak akan sedih jika kekasihnya menghilang? Rasa rindu di hati pada senyuman dan juga gurauan khas membuatku ingin memilikinya seumur hidup, teringat lagi awal-awal aku bertemu dengannya. Sungguh gadis lugu, cantik juga punya tubuh yang cukup berisi, siapa yang melihatnya pasti akan jatuh hati.

Rasa rindu sedikit menggelitik hati dengan rasa bersalah, tapi aku tidak begitu merasa kehilangan selama kekasihku tidak bisa ditemukan, sebagian perasaanku justru lega oleh berita kehilangan tersebut.

Kembali ke alkohol yang ada di tanganku, kira-kira dalam kurun waktu sebulan ini pun aku mulai rajin membeli dua botol alkohol untuk persediaan selama empat hari. Lagipula ini, kan, hanya alkohol, jadi kupikir tidak akan ada masalah karena semua orang mungkin saja sama-sama menyimpan benda ini di rumah. Namun, begitu hari menglarut, tepat di jam setengah delapan malam warga dewasa satu kampung mengepung rumahku, dengan obor di tangan, juga cercaan tanpa habis di mulut.

Aku dan adik baru saja selesai menyantap makan malam dengan menu olahan daging spesial yang sejak 25 hari terakhir menjadi menu favorit kami. Dalam ketenangan setelah makan, suara ribut-ribut penghancur kedamaian terdengar jelas dari luar, kami tentu terkejut dengan kedatangan tak diundang tersebut, sejenak kami saling pandang sebelum kusuruh dia untuk berdiam di pintu ruang belakang, sementara aku berjalan menuju pelataran demi menghadapi kerumunan.

“Iya, usir saja mereka berdua dari kampung ini!“

Satu yel-yel dibalas oleh puluhan seruan yang sama, aku sendiri bergegas menggapai pintu saat suara teriakan warga makin mengganas. Begitu dibuka, wajah Kepala Desa yang pertama kali kutemui, barulah wajah-wajah lain tertampak dengan satu raut yang sama; mata nyalang, napas terengah, dan tangan seperti tak sabar ingin memukul beramai-ramai.

“Maaf, Pak Kades. Ini ada apa, ya?“ Langsung saja kutanya tanpa menghiraukan serapah yang langsung menghujam.

“Begini, Den. Sehari-hari tetangga mendengar kalau Den ini sering menyuruh adik untuk membeli alkohol, apa berita itu benar?“

Aku terdiam sejenak, sedikit menduga kira-kira tetangga mana yang dimaksud, tajam betul pendengarannya. “Benar, Pak, empat hari sekali saya menyuruh adik untuk membeli alkohol.“

“Den tentu tahu, kalau di kampung ini alkohol itu sangat dilarang, karena dapat membawa pengaruh buruk untuk masyarakat sekitar. Jadi keputusan dari saya dan para warga menghendaki Den untuk pergi dari kampung ini.“

“Tunggu sebentar! Saya, kan hanya membeli alkohol, lalu apa masalahnya dari itu?“

“Iya Den. Di kampung ini terdapat larangan keras untuk meminum alkohol, sebagaimana agama kami melarangnya.“

Selepas Pak Kades menjawab dengan nada santun, aku justru terhenyak. Meminum alkohol? Buat apa aku meminum cairan tersebut?

“Maaf Pak Kades, sepertinya ada sedikit kekeliruan.“ Kucoba bersuara sedikit lantang agar tidak hanya Pak Kades yang mendengar, warga yang sedari tadi berteriak hingga serak juga bisa menutup mulutnya sejenak. “Biar saya jelaskan kalau—”

“Sudahlah, kau ini hanya tukang mabuk! Apa susahnya pergi dari sini?“

Lagi, para warga mengucap serapah padaku bak mendoa pada Tuhan, begitu bebas lantang dan penuh penghayatan bagai sedang berhadapan dengan Hari Penghakiman, tapi keributan tersebut segera dilerai Pak Kades. Sekilas kulihat tampang pusing di wajah senjanya sebab tingkah warga di bawah kekuasaannya saat ini.

“Tenang dulu, utamakan musyawarah. Jika Den ini punya alasan, kita dengar dulu bersama-sama.“ Pak Kades menunggu warganya tenang, barulah dia kembali menghadap padaku. “Kekeliruan apa yang Den maksudkan?“

“Soal alkohol itu, saya tidak pernah meminumnya, kalian salah mengira alkohol! Biarkan saya ambil botol-botol alkohol yang biasa saya beli.“

Langkah cepat kukerahkan menuju dapur, dengan satu gerakan kupungut dua botol alkohol yang baru dibeli hari ini. Setiba di hadapan Pak Kades, wajahnya berubah sejuk kala beliau melihat botol alkohol yang kumaksud.

“Alkohol ini yang saya suruh adik untuk membelinya, Pak. Buat apa saya meminum alkohol medis?“

Pak Kades mengambil satu botol di tanganku, membaca sekilas tulisan di bungkusnya sebelum kembali menatapku. “Benar kalau alkohol ini yang Den beli?“

“Tentu, saya menyimpan semua struk pembelian jika anda ingin melihatnya.“

Sementara itu, para warga menengok penasaran dengan apa yang Pak Kades pegang, lucunya tak ada raut malu karena sudah mengutarakan fitnah. Pak Kades berbalik ke kerumunan tersebut dan mengacungkan botol alkohol medis, lantas berteriak.

“Warga tak perlu risau lagi, Den ini hanya membeli alkohol medis yang biasa dipakai untuk mengobati luka. Sekarang kalian pulang ke rumah masing-masing dan lupakan kejadian ini.“

Masalah mengudar, para warga langsung balik kanan tanpa berniat meminta maaf, jadinya Pak Kades lah yang mengucapkan maaf sebelum ikut kembali ke rumahnya, meninggalkan rumahku menjadi sepi setelah riuh terjadi.

Aku tentu lega karena fitnah tersebut dapat selesai dalam sekali duduk. Kalau saja mereka memaksa masuk ke dalam dan mencapai bagian belakang rumah, akan ditemukan lebih banyak lagi botol alkohol bekas yang sudah habis digunakan guna mensterilkan luka kekasihku setelah kupotong dagingnya untuk dijadikan makan malam.

My World Of Silence (Kumpulan cerpen)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang