Suasana dingin membekukan terasa membelai permukaan kulit, api unggun yang semula menyala terang perlahan meredup seiring dengan kekurangan bahan bakarnya. Di sisi lain untuk menemukan kayu itu terbilang sulit, sebab salju sudah turun sejak sejam lalu.
Sialnya, malam pun sudah datang dan menggulitakan keadaan sekitar kami, membuat perburuan kali ini semakin menjengkelkan. Bukan tanpa alasan, pasalnya kamilah buruan itu.
"Bagaimana nasib kita di sini, Duncan?" tak henti perkataan itu meluncur dari bibir kawan seperjalananku, yang aku sendiri tidak tahu siapa dan dari mana.
"Tenanglah, kita sudah berjalan sejauh ini," ucapku mencoba menenangkan gadis yang tampak seumuran denganku. Sama-sama berusia 17, mungkin?
"Ta-tapi ... ini sudah hari kesepuluh dan kita masih berada di sini! Aku lelah!"
Aku balas bentakan itu dengan desis panjang, serta tatapan menusuk ke arah matanya, kucoba memperingati dia kalau suaranya dapat memancing apa yang dia sendiri takutkan. "Kau ini gila atau bodoh?" aku berujar kemudian.
Tapi dia tidak menjawab, justru kembali meringkuk dengan memeluk kedua lutut sendiri. Suara tangis terendam dalam pelukan sebagaimana rasa kesalnya pada keadaan kami saat ini; menjadi sepasang korban pemburuan.
Mengabaikan bagaimana kondisiku dan kawan seperjalananku, dengan awas kuperhatikan keadaan sekitar, suasana gelap dan hanya memberi jarak pandang tak sampai sejauh lima meter membuatku sedikit ngeri, sebab itu kutajamkan indera pendengaran.
Jantung tak henti berdegup cepat, tapi aku tetap memasang rasa tenang yang dibuat-buat, padahal sebenarnya aku pun takut setengah mati.
Selama sepuluh hari ini, di tempat yang tidak tahu ada di mana, aku merasa seolah sudah menjadi seorang buronan, ketakutan juga ketegangan dengan pikiran macam-macam terkait perburuan yang sedang kami hadapi begitu membuatku takluk. Seperti saat ini, aku tak tahu harus bagaimana lagi menghadapi detik selanjutnya dalam hidupku.
Tentu saja aku tak mau mati di usia muda seperti ini, ada banyak hal yang masih ingin kucapai, belum lagi aku pun belum bisa membalas kebaikan kedua orang tuaku, tapi sialnya aku justru ikut terjebak dalam permainan ini, yang mana setiap peserta akan menjadi tumbal dari sesuatu, dan kita dituntut untuk bebas dari sesuatu itu sebelum diangkat menjadi raja dalam permainan ini. Jika memang seperti itu peraturan dari permainan sialan ini.
Semakin lama, kewarasanku terasa semakin turun, dinginnya udara bersalju berhasil menundukkan kokohnya kedua kakiku untuk terus berdiri tegak. Bahkan aku sudah tidak dapat mencium aroma apapun, hidung sepenuhnya mati rasa, begitu pula ujung jemariku. Meski begitu aku masih memaksakan diri untuk tetap siaga, karena bisa saja 'sesuatu itu' sudah berada di sekitar sini.
Tapi, mungkin tak apa jika aku tidur sejenak, bukan? Sedari tadi suasana di sini terasa sunyi, sangat cocok bagiku untuk beristirahat. Mengapa pula aku harus begitu siaga? Kedua kakiku sudah tak sanggup berdiri, aku merebah di atas tanah mengambil posisi tengkurap, dengan kelopak mata yang semakin detik berjalan semakin menutup rapat.
KRAK!
Suara itu seketika menegangkan bulu kudukku, seketika membangkitkan segala indera yang semula hampir mati. Lamat-lamat aku fokus pada indera pendengaran, menerima suara desiran angin yang berembus di sekitar yang ikut membawa suasana menegangkan kurasa.
Rasa sesak segera kurasakan saat tak jauh dari sisi kanan, sekitar tiga meter terlihat sebuah bayangan anjing bertanduk rusa, berdiri mantap dengan tinggi dua meter. Kedua matanya merah menyala, dan tampak seringan khas dengan gigi taring tajam. Mataku membelalak setelah menyadari betul apa itu.
Wendigo.
Aku mundur perlahan, berusaha menjauhi bayang-bayang itu agar nyawaku selamat, kemudian ikut meringkuk di samping si Cengeng sebagai kamuflase kalau aku bukanlah mahluk hidup, sekiranya itulah yang kupikirkan tentang apa yang dia pikirkan. Namun, aku pun baru menyadari kalau si Cengeng ini juga melihat Wendigo itu. Tubuhnya tak henti bergetar hebat akibat ketakutan, air mata terus lolos dari kelopaknya dengan bebas.
Perlahan suara demi suara dari sebuah langkah semakin mendekat, turut menambah kencang degup jantung dalam dadaku. Namun, setelah suara itu tepat berada di dekat cekungan tempatku dan si Cengeng bersembunyi, tiba-tiba saja segala aura mencekam berhenti, suara langkah ikut hilang mengotori udara, bahkan angin yang semula begitu dingin kini terasa hangat.
Jeda yang kami sama-sama rasakan seperti menghentikan waktu, kami menunggu apakah mahluk itu sudah pergi atau masih tetap di samping cekungan ini. Namun masih tidak ada tanda-tanda kehadirannya sampai lima menit kedepan.
"A-apa ...."
"Ssstt!" aku mendesis kesal, "Meski suasana sudah hening, bukan berarti dia sudah pergi."
"Aku tidak mau mati Duncan, aku tidak mau!" Si Cengeng justru bangkit kemudian membentak ke wajahku, bahkan kini dia mendorong tubuhku sampai keluar dari cekungan pohon yang sedari tadi melindungi kami.
Aku terlempar cukup jauh, punggungku menghantam tanah cukup keras sampai nyerinya menjalar kesepanjang tulang punggung. Aku hendak bangkit begitu si Cengeng sudah menindih tubuhku dan memberi satu tinjuan tepat di pipi. Menambah rasa sakit di tubuhku menjadi dua kali lipat.
"Aku tidak mau mati! Aku tidak mau mati!" Teriaknya seiring jumlah tinju yang dia beri padaku, meski tinjuan wanita tidak sekuat tinju pria, tetap saja jika dilayangkan berkali-kali tetap terasa menyakitkan. "Aku tidak mau mati! Ini semua gegara YouTuber sialan itu, seandainya dia tidak membuat perburuan dengan hadiah miliaran, aku tidak akan ikut! Kita semua tidak akan mati!"
"Cukup!" Tak tahan dengan tinju lemah yang dia beri, aku membalikkan tubuh sampai kini dialah yang tertindih. Kutahan kedua tangannya agar tak bisa bergerak, jika saja kondisinya lain, mungkin apa yang kuperbuat seolah akan melecehkan dirinya.
"Dengar, kita tidak akan selamat jika terus saling menyalahkan," aku berucap dengan tenang. Mengabaikan posisiku yang begitu menguntungkan, tapi itu bukan hal penting saat ini. "Tak ada yang bisa kita perbuat selain ...."
SSSTT ....
Suara desis itu seketika memenggal suaraku, tatapan terkejut tampak dari mata kami berdua, bahkan si Cengeng sudah pucat seperti mayat. Perlahan aku memberanikan diri untuk menoleh kedepan, dan langsung bertatapan dengan sosok Wendigo yang menjadi pemangsa kami sudah maju dan siap menerkam.
Dalam satu gerakan cepat aku melompat kebelakang, sebagai bentuk berusaha untuk mempertahankan hidup sendiri, tapi sayang akibat dari ulahku itu justru si Cengeng lah yang menjadi mangsa empuk Wendigo. Mahluk itu segera melumat tubuh si Cengeng dengan rakus, seperti anak kecil yang diberi cokelat batangan.
Jeritan si Cengeng berpadu dengan suara derak kunyahan tulang dan koyak dari daging yang ditarik, membuat malam ini menjadi sebuah malam sunyi menjadi alunan melodi penyiksaan yang harmonis. Tanpa ampun Wendigo memakan tubuh perempuan itu. Darah mulai menyebar di sekitar tubuh si Cengeng, hingga jeritan dan juga suara napas mulai meredup kemudian hilang, membuat si Wendigo menjadi tenang menyantap makan malamnya tersebut. Di akhir tak ada yang tersisa dari tubuh si Cengeng bahkan sampai ke tulang.
Selama Wendigo asik dengan makanannya, aku terus beringsut mundur demi misa menghindar tanpa menimbulkan suara, tapi ternyata Wendigo di depanku mengalihkan pandangannya dari sisa si Cengeng ke padaku, kemudian secara perlahan merangkak maju secara perlahan ke tempatku.
Rasa panik segera mendera dan aku terus beringsut untuk menghindarinya, tapi punggungku justru terantuk dengan sebatang pohon besar, membuatku tertahan di tempat. Tak ada jalan keluar dari cengkraman si Wendigo hingga akhirnya aku pasrah. Tak ada lagi yang bisa kuperbuat, bahkan untuk berlari pun percuma.
Tepat di depanku, Wendigo sudah mencapai ke kaki dan terus mendekat sampai jarak wajah kami hanya tujuh centimeter. Aroma amis darah kuat tercium darinya hingga membuatku mual, belum lagi wajahnya tampak jelas lebih mengerikan dari jarak sedekat ini. Dia terdiam dengan kedua bola mata merah yang tak henti menatapku, tak lama dia melenguh, lalu menunduk menuju tanganku minta dielus.
Aku tersenyum lebar dengan perasaan lega luar biasa, kuelus dengan lembut menanggapi kemanjaan dari peliharaanku ini. Aku masih belum terbiasa dengan wujudnya yang mengerikan seperti itu, jadi aku belum begitu tahu apa dia minta dielus atau ingin memakanku.
"Kau sudah kenyang, Wendigo-ku sayang?" kataku lembut, dia hanya mengangguk manja. "Ayo kita cari kontestan lain untuk kau makan."
KAMU SEDANG MEMBACA
My World Of Silence (Kumpulan cerpen)
Short StoryPernahkah kau berada di tengah hutan, ditemani suasana gelap dan seramnya? Atau pernah bertemu dengan psikopat yang menjalankan rutinitas paginya seperti manusia normal, hanya saja dengan cara berbeda? Terjebak dalam sebuah dunia penuh fantasi, berm...