"Tumben lo nggak ikut bokap nyokap. Kenapa?"Rean, cowok berusia sembilan belas tahun yang menatap layar televisi dengan pandangan setengah menerawang, kini menoleh seketika. Dikta, entah kenapa tidak pernah bisa berbicara dengan kalimat yang baik padanya.
"Bukan urusan lo, kan?" tanya Rean balik, lalu menyambar remot televisi, memperhatikan beberapa iklan yang terus ditayang. "Gue butuh istirahat."
"Robot bisa istirahat juga ternyata," gumam Dikta, fokus pada layar laptopnya. "Bang, setelah tamat entar, gue mau kuliah sistem informasi teknologi, boleh? Bakal beda kampus sama jurusan juga dengan lo."
Rean mengangguk singkat. "Hidup lo lagian, Dik. Nggak semuanya harus ikuti gue, kan?"
"Iya," gumam Dikta tersenyum samar. "Gue udah nggak minat ngikuti jejak lo lagi."
"Jangan diikut kalau gitu," ucap Rean lalu setengah menyentak remot ke meja, saat samar-samar terdengar suara isakan dari lantai dua.
Nanta, Rean benar-benar hafal pemilik suara itu.
Jika dulu ia harus menghadapi drama dari Gio yang seusia Nanta terus mencegatnya untuk pergi, maka kali ini berbeda. Meskipun sama-sama drama, tetapi setiap kedua orang tuanya itu keluar, Nanta tidak akan mencegat, dan memilih Bibi yang berada di rumah.
Namun, bukankah perempuan paruh baya itu tidak lagi bekerja di rumah? Kali ini hanya meninggalkan gadis itu sendirian saja, kan?
Tidak ada yang mengalihkan pikiran Nanta dengan permainan ataupun buku-buku bacaan. Gio ketika malam seperti ini selalu sibuk sendiri dengan pelajaran dan game, lalu Dikta dengan segala jenis peralatan dan hal menyangkut teknlogi lainnya yang Rean tidak begitu mengerti, sementara ia?
Rean mengusap belakang leher dengan canggung, lalu mengetuk pintu kamar dengan hiasan kayu bertuliskan Home Sweet Home dengan empat ekor beruang di bawahnya.
Melihatnya, Rean jadi tertawa pelan. "Dek? Abang masuk."
Tidak ada jawaban, bahkan isakan terhenti. Rean mengernyitkan dahi, langsung membuka pintu kamar tanpa permisi. Kakinya ingin melangkah, tapi tertahan saat berbagai warna dari krayon menggelinding menyentuh ujung jarinya.
Berusaha sebisa mungkin Rean menahan untuk tidak mendesis. Tidak cukup suasana kamar milik Dikta, Nanta juga ikutan, huh?
"Dek! Bersihin ka--"
"Maaf," lirih Nanta, duduk bersandar di sisi bawah tempat tidur. Gadis kecil itu membenamkan wajah di lipatan lutut, memeluk diri sendiri dengan kedua tangan. "Maafin, Nanta. Besok Nanta bakal jadi anak baik, besok Nanta bersihin kamar ini."
"Dek, lo kenapa, hm?" tanya Rean, duduk di samping gadis kecil itu lalu menepuk bahunya dengan pelan. Terasa begitu kecil, rapuh, tetapi berusaha terlihat kuat di hadapan yang lain.
KAMU SEDANG MEMBACA
Brother Notes [OPEN PRE-ORDER]
Teen FictionDi dunia yang menyebalkan ini, ada sebuah rahasia yang paling ingin Rean sembunyikan hingga mati. Tidak peduli orang-orang menganggapnya seperti apa, yang pasti biarkanlah rahasia penuh kelam itu menjadi tanggungannya. Namun di sisi lain, semenjak k...