Hari itu Harzi melakukan kesalahan dengan melupakan janjinya untuk menemui Kirani di suatu tempat di hari ulang tahunnya. Harzi sungguh tak ingat, sebab teman-temannya mendadak datang dan membawanya untuk merayakan.
Barulah di pukul sebelas malam saat dua botol minuman telah tandas, Harzi mendapat telepon dari Kanaka yang lantas mengumpatinya, memakinya dengan ujaran brengsek dan tidak bertanggung jawab. Awalnya tentu Harzi terpancing, apalagi kesadarannya sudah hampir lepas kala itu. Namun setelah Naka menyebut nama sang kakak, seketika pula akal sehatnya terhimpun kembali. Harzi bak orang kesetanan yang menerobos segalanya bahkan mengabaikan fakta jika malam itu bumi tengah dilanda hujan deras.
Dengan kondisi basah kuyup ia tiba di rumah sang kekasih, memohon pada Kanaka yang membukakan pintu agar mengijinkannya menemui Kirani. Meski susah payah menahan emosi pada akhirnya Kanaka menawarkan untuk berganti pakaian, baru sesudahnya boleh bertemu Kirani.
Lalu ketika gadis itu membuka pintu, satu tamparan keras menyambut kedatangan Harzi. Perlu diingat bahwa Kirani adalah pemegang sabuk taekwondo hingga dapat disimpulkan sesakit apa pipi kanan Harzi sekarang.
"Kalau emang nggak bisa, seenggaknya kasih gue kabar." Ujarnya dingin meski wajahnya telah sembab karena tangis.
"Ran, gue minta-"
"Lo bau alkohol." Tukasnya. "Hah, gue beneran bego udah percaya sama lo."
"Dengerin gue dulu!" Harzi menahan ketika Kirani hendak menutup pintu, lelaki itu ikut masuk dan mengunci kamar. Berusaha tidak lupa pada janji tentang bagaimana seharusnya mereka menyelesaikan masalah.
"Keluar."
"Nggak. Dengerin dulu."
"Gue nggak mau denger penjelasan dari orang yang setengah sadar, dan suka bohong."
"Ran, gue berani sumpah kalau beneran lupa. Sama sekali nggak ada maksud buat bikin lo nunggu-"
"TAPI GUE NUNGGU, BAJINGAN!" Hardiknya membuat Harzi terdiam. "Gue nunggu, Zi! Karena gue pikir lo nggak akan ninggalin gue tanpa kabar. Gue percaya omongan lo! Gue percaya kalau lo akan selalu nepatin janji! Gue nggak menuntut lo harus bersama gue setiap waktu. Gue cuma mau seenggaknya, lo nge-chat gue dan bilang kalau lo nggak bisa dateng. Gue di sana selama itu buat lo! Dan lo tahu betul kalau gue benci orang yang ngelanggar janji dengan alasan apapun!"
"Gue lupa, Ran. Serius beneran lupa!"
"Dan lo ngelupain gue." Pungkas Kirani. "Ada 5 jam lamanya kesempatan buat ingat, Zi. Dan lo memilih untuk lupa."
"Kirani. Jangan mikir aneh-aneh."
"Mending lo pergi. Sekarang temen-temen lo lebih penting dari gue."
"Nggak ada yang boleh pergi sampai masalahnya selesai."
Kirani tersenyum sinis. "Ini masalah lo, bukan gue. Nggak perlu mikirin soal kita. Toh, hubungan ini emang belum seserius itu."
"Lo ngomong gitu jadi berasa cuman gue yang berjuang di hubungan ini tahu nggak?" Harzi pun angkat bicara. "Lo lagi nggak nyari celah kan, biar bisa putus dari gue?"
Wow, pikiran Kirani bahkan tak sampai ke sana. "Kayaknya lo yang lagi nyari alesan buat nutupin kesalahan. Ya nggak sih?"
"Ya terus lo maunya gimana? Mau kita nge-date dengan kondisi gue yang begini? Emang lo mau?"
"Nggak, Zi. Jangan maksain diri lagi. Gue tahu lo juga pasti capek ngadepin gue."
Lalu keduanya sama-sama terdiam. Kirani masih meringkuk di sudut sementara Harzi terduduk di ujung kasur. Sebenarnya pun, Kirani ingin memarahi Harzi untuk alasan lain yakni, bagaimana bisa ia berkendara dengan kondisi seperti itu? Bukankah sama saja dengan membahayakan nyawanya?
KAMU SEDANG MEMBACA
side stories / what if
Historia Cortathe untold moment of all stories. ©tuesday-eve, 2021.