Sunny termenung di atas tempat tidur sambil memeluk lutut. Pening yang memukuli kepalanya sejak semalam kian menjadi, sedangkan gelisah yang menyebar di setiap sudut hati menghadirkan sebongkah batu yang mengganjal paru-paru. Di dalam diri gadis itu terjadi pergolakan, pertempuran antara menyerah dan keras kepala yang membuatnya beku di titik abu-abu. Jika sisi lain dirinya senantiasa berbisik kalau dia harus menuruti perkataan kedua orangtuanya juga Alexa karena meskipun mereka tidak memperlakukannya dengan baik, mereka tetap saja satu-satunya keluarga yang sudi mengakui dirinya sebagai anak dan saudara, sisi dirinya yang lain kukuh mengemukakan hal yang bertentangan.
Kontradiksi yang memuakkan itu menanamkan frustasi hingga lelap menjauh dari matanya yang kini terlihat sembap oleh tangis dan sayu oleh letih. Satu hal yang sangat ingin Sunny lakukan saat ini adalah pergi menemui Sejun supaya beban yang dia pikul sedikit berkurang. Namun, bagaimana caranya? Seperti tahanan, Sunny dikurung di dalam kamarnya sendiri tanpa alat komunikasi. Jika dia bisa membuka pintu jendela pun, itu berkat 'kebaikan' hati ayahnya yang ditujukan sebagai reward karena Sunny sudah bersikap patuh selama makan malam dengan Tuan Park berlangsung.
Pintu kamar Sunny hanya akan terbuka jika waktu makan datang. Malangnya, tidak ada seorang pun asisten di rumah itu yang bisa dimintai tolong oleh Sunny untuk sekedar meminjamkan ponsel karena Jonathan tidak akan segan memecat mereka jika ketahuan melanggar perintah. "Bagaimana ini?" Pertanyaan Sunny lepas dari bibir seiring dengan melesaknya bantal di bawah kepala gadis itu.
Paru-parunya memompa udara hingga penuh, lalu ketika embusan napasnya yang kuat sampai ke ujung, suara ketukan di pintu menyentak kepala Sunny menatap ke sumber suara. "Sudah jam makan malam. Mudah-mudahan Bibi Na yang datang."
Sunny bergegas bangun. Duduk diam di tepi ranjang dan menunggu. Begitu sosok yang dia harapkan benar-benar muncul di ambang pintu lalu masuk lebih dalam seraya membawa nampan berisi makanan, seulas senyum tipis tersungging di bibir Sunny yang dibalas ala kadarnya saja oleh Bibi Na.
"Ini makan malam untuk Anda, Nona."
"Letakkan saja di atas meja, Bi. Terima kasih banyak."
Bibi Na mengangguk, meletakkan nampan yang dia bawa sesuai perintah. "Silakan dinikmati, Nona. Saya permisi dulu."
"Tunggu sebentar, Bi!
Bibi Na yang saat itu sudah memunggungi Sunny pun berhenti kemudian berbalik menghadap sang majikan. "Ada apa, Nona?"
"Bi, tolong bantu aku," kata Sunny sambil menggenggam erat kedua tangan Bibi Na yang terlihat bingung sekaligus takut.
"Bantu apa, Nona? Saya—saya harus segera bekerja—"
"Tolong, Bi. Aku harus bicara dengan seseorang. Bolehkah aku meminjam ponsel Bibi?"
"Nona, saya takut dipecat oleh Tuan. Maaf saya tidak bisa membantu."
"Bi, aku mohon. Tolong pinjamkan ponselmu sebentar saja. Ini benar-benar penting. Aku janji tidak akan lama."
Ketika Bibi Na terlihat ragu, Sunny kembali memelas sekaligus meyakinkan. "Di antara para pekerja yang lain, hanya Bibi Na saja yang memperlakukan aku dengan hangat. Aku benar-benar tidak tahu harus minta tolong kepada siapa jika bukan kepada Bibi. Aku janji tidak akan lama dan Bibi tidak akan dipecat."
Butuh waktu beberapa saat bagi Bibi Na untuk mengambil keputusan yang sangat beresiko. Awalnya wanita paruh baya itu ingin bersikap acuh tak acuh kepada Sunny seperti yang dilakukan para pekerja lainnya. Namun begitu melihat wajah cantik Sunny lusuh oleh air mata, sedangkan lingkaran hitam di bawah matanya seolah mengatakan bahwa malam tidak dia lewati dalam keadaan nyenyak, membuat rasa kasihan yang ada di dalam hati Bibi Na jauh lebih unggul dibandingkan rasa takut dan logika.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Curse Wedding
RomanceAtas asas balas budi dan tahu diri, Sunny harus merelakan hubungannya dengan Oh Sejun kandas di tengah jalan. Luka hati Sunny yang bahkan belum sempat dibalut dengan rapi, semakin tercabik-cabik oleh perjodohan yang diatur secara semena-mena oleh or...