8. Paranoid

6 3 0
                                    

Bibi Na tersentak diiringi perasaan takut kala pintu yang dia kunci dari dalam berusaha dibuka oleh seseorang, sementara Sunny yang masih berada di walk in closet belum juga selesai dengan urusannya. Tak mau ambil resiko, Bibi Na pun langsung masuk menyusul Sunny. Merebut ponsel miliknya yang berada di dalam genggaman gadis itu tanpa permisi kemudian menyimpannya di saku celemek. Tindakan tak terduga dari Bibi Na tentu saja membuat Sunny terkejut. Namun suara ketukan pintu yang semakin keras dan terdengar tak sabaran, membuatnya mengerti situasi tanpa banyak bertanya.

"Ma-maaf, Nona. Ada yang datang. Saya takut kalau itu Nyonya," kata Bibi Na panik.

Mendengar penjelasan dari Bibi Na, senyum tipis di bibir Sunny mengembang dan dia menganggukkan kepala sebagai isyarat kalau tindakan impulsif yang dilakukan oleh Bibi Na tidak membuatnya tersinggung. Justru Sunny-lah yang merasa bersalah karena sudah menyusahkan Bibi Na sampai-sampai wajahnya terlihat pucat karena cemas. Maka dari itu, Sunny buru-buru kembali ke tempat tidur sambil menarik tangan Bibi Na lalu menutupi tubuhnya sendiri dengan selimut putih sampai batas pinggang.

"Bi, cepat buka pintunya," bisik Sunny lirih, "kalau ditanya kenapa lama sekali, bilang saja aku sakit."

"Baik, Nona."

Bibi Na lantas bergegas membukakan pintu. Dan sesuai dugaan, hal pertama yang menyambutnya adalah wajah garang dari Ilana yang membuat wanita berumur lima puluh tahun itu beringsut ke belakang, sama sekali tidak berani mengangkat wajah. Kedua mata Ilana menyipit melihat Bibi Na yang terlihat canggung dan gemetar. Sambil menyilangkan tangan di depan tubuh, dia bertanya, "Apa yang sedang kau lakukan di dalam? Kenapa pintunya sampai dikunci?"

Tatapan Ilana yang tajam saat dia memindahkan pusat atensinya ke Sunny cukup menjelaskan betapa dia mencurigai mereka berdua sekarang. Sunny jelas tahu kalau dia dan Bibi Na tidak boleh salah bicara. Karena jika mereka berdua ketahuan bersekongkol membohongi Ilana, itu sama saja seperti menyulut api menjadi kobaran yang lebih besar.

"Ibu, tadi Bibi Na—"

"Aku tidak bertanya kepadamu!" Suara Ilana yang tiba-tiba menggelegar mengejutkan Sunny dan Bibi Na.

Dalam keheningan, atmosfer ketegangan di sana terasa begitu kental. Terlebih tatapan mengintimidasi dari Ilana yang kini ditujukan kepada wanita paruh baya itu, tak ubahnya seperti hujan berduri sebelum datangnya badai petir. Sunny yang kasihan melihat Bibi Na pun segera turun dari ranjang lalu mendekat ke arah Ilana.

"Ibu, tolong jangan marahi Bibi. Dia tidak salah apa-apa. Dia hanya membantuku ke kamar mandi karena tiba-tiba saja aku merasa mual."

Ilana mengernyitkan dahi.

"Apa benar begitu?" tanya Ilana kepada Bibi Na yang sedari diam saja sambil menundukkan kepala.

"Benar, Nyonya. Tadi Nona Sunny terlihat pucat sekali. Jadi saya memijat tengkuknya di kamar mandi waktu Nona muntah-muntah."

"Lalu kenapa kau mengunci pintunya?"

"Itu... saya lupa, Nyonya. Benar-benar lupa. Maaf."

"Kau tahu akibatnya bukan kalau ketahuan berbohong?"

"I-iya, Nyonya. Saya tidak berani berbohong. Saya hanya membantu Nona saja tadi."

"Ya sudah. Cepat keluar dari sini." Ilana akhirnya melepaskan Bibi Na setelah puas memindai wajah sang asisten dengan tatapan penuh selidik, hal yang sedikit melegakan bagi Sunny karena Bibi Na tidak harus menanggung hukuman karena sudah membantunya.

Sepeninggal Bibi Na, Ilana dan Sunny sama-sama tidak bicara. Berbeda dengan Sunny yang menunggu ibunya mengutarakan maksud kedatangannya terlebih dahulu, Ilana terlihat fokus memikirkan sesuatu.

The Curse WeddingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang