Rumah sederhana itu hanya berisikan sepasang kakak-beradik yang sama-sama bergantung satu sama lain. Hanya berdua, tidak ada yang lain. Suka atau duka, mereka berdua menghadapinya bersama. Pahit manisnya hidup, mereka lalui berdua. Tidak ada yang mendampingi, tidak ada yang melindungi, juga tidak ada yang mengajarkan bagaimana bertahan ditengah-tengah kerasnya hidup.
Anak-anak itu belajar hanya dari melihat sekitar. Apa yang dilakukan orang-orang dewasa disekitar mereka, maka keduanya juga melakukan hal yang serupa.
Saat itu mereka tidak tahu, apakah sesuatu yang dilakukan orang dewasa itu benar atau tidak. Karena bagi pikiran mereka, orang dewasa lahir lebih dulu dari kita, mereka pasti udah tahu bagaimana menjalani hidup dengan baik, dan keduanya beranggapan orang dewasa selalu benar.
Padahal tidak semua orang dewasa begitu.
Jika ada yang bertanya, kemana orang tua mereka? Mengapa dua orang dewasa itu meninggalkan buah hati mereka dalam jangka waktu yang begitu lama? Apakah sepasang suami-istri itu tidak mengurus anak-anak mereka?
Maka jawaban dari sang anak adalah, "Mereka sedang pergi. Kalau ingat jalan pulang, mereka pasti kembali."
Jawabannya memang terdengar aneh bagi orang-orang yang tidak tahu akar permasalahan keluarga ini.
Di hari Sabtu, kali ini disambut hari yang cerah. Sinar matahari menyinari kota Jakarta pagi itu. Terdengar suara kicauan burung dan suara ayam jantan berkokok. Hari yang bagus di akhir pekan.
Suasana rumah sederhana bercat biru muda itu tampak tenang jika dilihat dari luar. Orang-orang berpikir, karena yang tinggal cuma dua orang, jadi tidak mungkin akan ada kerusuhan. Padahal kenyataannya sama saja seperti rumah-rumah lain yang berisik setiap pagi.
Meskipun tinggal berdua. Setiap hari jika kakak-adik itu berkumpul pasti ada kerusuhan yang mereka ciptakan. Namanya juga saudara, gak rusuh gak asik. Kalian tidak akan tahu jika melihat dari luar saja, kalian harus masuk agar bisa melihat keributan tersebut. Karena keduanya ingin momen-momen yang mereka lewati hanya diri mereka saja yang tahu, orang lain tidak usah ikut campur.
Nakala dengan setelan kaos hitam berlengan pendek dan celana jeans, berjalan tergesa-gesa menghampiri kamar adiknya yang sedari tadi berisik oleh gerutuan gadis itu.
"Gimana? Ketemu gak?" Tanya Nakala sembari menghampiri Sewindu yang terlihat sibuk mengobrak-abrik lemari pakaiannya sendiri.
"Enggak ada, ih! Kemana sih, perginya?! Perasaan aku udah simpan di lemari tapi kok gak ada? Padahal Senin depan jadwal piket nya aku," oceh Sewindu.
Tak ingin membuat adiknya marah-marah karena barang yang dia cari dari tadi tidak kunjung ketemu, Nakala berdiri, ia memilih membantu mencari di tempat lain. "Kakak cari ke tempat cucian ya? Siapa tau kamu lupa nyuci."
"Iya, makasih, Kak."
Jadi, barang yang Sewindu cari-cari sejak tadi adalah syal PMR. Iya, Sewindu anak Palang Merah Remaja dan Senin depan adalah bagiannya Sewindu untuk bertugas di lapangan saat upacara. Tentu saja harus dengan atribut PMR yang komplit sebagai penanda Sewindu anak PMR. Dan sialnya, syal berwarna kuning dengan lambang plus (+) mirip bendera Swiss itu hilang entah kemana.
Nakala sudah membantu mencari tadi dengan memeriksa lemari pakaiannya sendiri, barangkali syal PMR milik Sewindu tidak sengaja terselip di tumpukan bajunya. Nyatanya nihil, syal itu tidak ada. Sekarang Nakala menghampiri kamar mandi, memeriksa keranjang berisi pakaian kotor. Syal itu juga tidak ada di sana. Nakala kembali ke kamar Sewindu, menemukan sang pemilik kamar berdiri diambang pintu sambil menatapnya berharap.
"Di kamar mandi juga gak ada."
Sewindu mendesah kecewa. Menghentakkan kakinya berulang kali selayaknya anak kecil yang kehilangan permennya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sewindu Nakala
Ficção Adolescente❝𝘽𝙞𝙣𝙩𝙖𝙣𝙜 𝙮𝙖𝙣𝙜 𝙗𝙚𝙧𝙨𝙞𝙣𝙖𝙧 𝙥𝙖𝙡𝙞𝙣𝙜 𝙩𝙚𝙧𝙖𝙣𝙜 𝙞𝙩𝙪 𝙖𝙙𝙖𝙡𝙖𝙝 𝙠𝙖𝙠𝙖𝙠 𝙠𝙪.❞ © daisyyfunn, 2022.