Tentang pedih, resah, dan kesepian akhirnya harus ia terima sebagai bagian dari hidupnya. Gadis kecil yang beranjak remaja itu mencoba untuk ikhlas melewati lembar demi lembar cerita yang sebenarnya tak diinginkannya. Rasanya percuma, mengeluh dan meresahkan apa yang sudah digariskan untuknya, karena itu takan mengubah apa-apa, yang ada hanya akan menambah rasa sesak didada. Hingga semua rasa itu kini telah menyatu dengan jiwanya, pedih, resah dan kesepian.
Kini, ia bukan lagi gadis kecil seperti pertama ia berada dikeasingan itu. Ia telah menjelma menjadi gadis remaja dengan senyum manis dan tatapan menyejukan, walaupun wajahnya berwarna khas kulit tersengat matahari dan penuh debu. Kucel, sekucel pakaiannya. Yang ia dapatkan dipasar loak seharga sepuluh ribu dapat tiga. Yang bahkan bisa ia gunakan hingga berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun.
Tak ada rasa malu atau canggung lagi, turun dari satu bis ke bis yang lain, satu toko ke toko yang lain. Semua ia lakukan demi terkumpulnya kepingan receh yang cukup untuk digunakan makan hari itu. Jalanan kini telah menjadi rumahnya, sesekali bermimpi tinggal dirumah gedongan yang ia lewati. Namun ia segera sadar dan menghela nafas karena seakan semua itu terasa mustahil baginya.
Cukup lama ia berjalan menyusuri jalanan, meskipun keping receh yang terkumpul tidak seberapa tapi ia tetap mencoba bersyukur. Setidaknya hari ini ia tidak akan kelaparan. Dari jalan raya ia masuk kesebuah gang dengan gedung-gedung mewah disepanjang sisinya. Dalam hati ia bergumam "ah, sepertinya salah masuk jalan, aku hanya ingin mencari warung nasi rames. Dikomplek mewah seperti ini mana ada warung nasi rames." Tapi entah kenapa langkahnya terus saja berjalan lurus, engggan berbalik arah.
Hingga kakinya terasa pegal ia belum juga menemukan warung nasi. Semakin lama semakin terasa pening kepalanya, karena terik matahari begitu menyengat tubuhnya. Pening dikepalanya semakin menjadi, terasa sangat pusing dan semua nampak buram. Ia terjatuh tak sadarkan diri.
" Astaghfirullohal 'adziim, siapa itu. Ayo kita tolong !" Kata seseorang yang baru saja keluar dari suatu tempat tak jauh dari gadis itu tak sadarkan diri. Terlihat seorang wanita memakai gamis pink pastel dengan jilbab motif floral berwarna senada dengan gamisnya sedikit berlari diikuti oleh anak-anak yang juga memakai jilbab. Mereka membawa gadis menyedihkan itu ke serambi mushola. Ya, wanita berhati baik itu adalah seorang ustadzah yang sedang mengajar di mushola yang juga digunakan sebagai Taman Pendidikan Al Qur'an.
" Dia siapa us? Kasihan sekali, wajahnya terlihat sangat lelah dan pucat." Tanya seorang anak dengan lugu.
"Entahlah, tolong salah satu ambilkan segelas air dan minyak kayu putih." Dengan telaten, wanita itu mengoleskan minyak kayu putih kedahi gadis malang itu. Tanpa ada rasa sungkan maupun jijik wanita itu sesekali merapihkan rambut gadis itu yang berantakan hingga kedahi.
Tak lama, gadis itupun perlahan tersadar dan mulai membuka mata. Ia tampak bingung, dimana kini berada. Kenapa sangat ramai dan siapa wanita yang ada dihadapannya, wanita dengan wajah teduh dan menenangkan. Wanita itu pun menyodorkana segelas air putih untuk gadis itu.
"Terimakasih." Ucap gadis itu setelah meneguk segelas air putih yang disambut dengan senyuman oleh wanita itu. Sangat manis, dan menyejukan hati. " Siapa namamu ?" tanya wanita itu.
" Dhiya. " menjawab dengan ragu, karena sudah lama ia tak menyebutkan namanya sendiri. " Dhiyana Lubna" sambungnya. "Nama yang cantik" Puji wanita didepannnya.
" Saya Risa Dewi, orang-orang disini biasa memanggil saya Us Risa." terang wanita itu, seperti bisa menebak raut wajah Dhiya yang penuh tanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hanya Dhiya
RomanceHidup adalah sebuah misteri, bahkan untuk bermimpipun aku terlalu takut. Takut apa yang akan terjadi tidaklah sesuai harapan. Jangankan bermimpi, untuk berangan pun aku takut. Pasrah dengan apapun yang akan terjadi. Seakan rasa sakit dan bahagia tak...