Kembali melintasi jalan yang tadi dilewati dhiya, bedanya sekarang ia tak lagi menyeret kakinya yang mulai pegal dan gemetar. Dengan santai Us Risa mengendarai kuda besinya. Tak ada percakapan antara kedua orang itu, tenggelam dalam fikiran masing-masing. Sesekali Us Risa menyapa orang yang ia temui dijalan, terlihat begitu ramah dan dikenal banyak orang disekitar situ. Sebelum sampai dijalan utama, Kuda besi itu berbelok kearah kiri. Masih dengan menyapa beberapa orang yang ia temui, akhirnya Us Risa menghentikan motor maticnya dihalaman yang terlihat luas dengan bangunan dua lantai yang terlihat modern tetapi sangat asri. " Sudah sampai, yuk kita masuk." Dengan lembut Us Risa mengajak Dhiya masuk.
Setelah memarkirkan matic kesayangannya Us Risa berjalan menuju pintu utama bangunan itu, menyimpan sepatu yang ia gunakan di rak sepatu yang tersedia di teras rumah. Berbalik badan dan tersenyum saat mendapati gadis yang dibawanya hanya diam mematung disamping motor. "Hei, kenapa diam disitu, ayo kesini." titahnya dengan lembut. Dhiya hanya tersenyum canggung dan berjalan dengan ragu kearah Us Risa.
"Dia siapa dek?" tanya lelaki paruh baya yang membukakan pintu. 'Adek' adalah panggilan kesayangan keluarganya kepada Us Risa, meskipun kenyataannya ia tak sekecil itu untuk dipanggil adek.
"Namanya Dhiya bah, nanti adek certain ke Abah." Jawab Us Risa sambil menggandeng Dhiya masuk kerumah. Meskipun bingung lelaki itu tak melarangnya, karena ia percaya putri bungsunya itu tak mungkin melakukan hal-hal yang tidak baik.
Dhiya hanya mengekor saja dibelakang Us Risa, sepertinya ia akan dibawa masuk kekamarnya. Setidaknya itu yang Dhiya tebak, setelah memasuki ruangan dengan nuansa pink pastel dan sebuah Kasur yang sangat besar dengan sprei berwarna pink. Disampinya terdapat rak berwarna pink yang penuh dengan buku yang tersusun dengann rapih dan sebuah lemari besar berwarna putih bersih. Di seberang kasurnya terdapat meja rias berwarna putih senada dengan lemarinya, di atasnya tersusun rapih beberapa make up dan skincarenya. Dhiya sangat takjub dengan ruangan itu. Namun ia segera tersadar, ia merasa tak pantas berada di ruangan itu melihat keadaanya yang sangat kontras. Hampir saja berbalik arah hendak keluar sebelum Us Risa menggandengnya lagi.
"Jangan takut, aku sedang tidak menculikmu." dengan sedikit tertawa Us Risa meyakinkan Dhiya. Diarahkannya gadis kecil itu untuk membersihkan diri kekamar mandi didalam kamarnya.
"Biar segar sekarang kamu mandi dan bersihkan badanmu." Titah Us Risa sambil memberi sebuah handuk pink dan sebuah gamis maroon. Agak ragu Us Risa memberikannya, takut Dhiya tidak menyukai gamisnya.
"Maaf, sepertinya perlakuan ini tidak pantas untuku, aku harus kembali." Jawab Dhiya mengembalikan handuk dan gamis itu. Dengan muka kecewa Us Risa berusaha menahan Dhiya. "Mau kemana? Ini sudah hampir gelap, lagi pula diluar hujan mulai deras."
"Aku sudah biasa." bantah Dhiya. Suasana hening untuk beberapa saat, sebelum akhirnya suara gemuruh perut Dhiya memecahkannya. "Sudahlah disini saja dulu, bersihkan tubuhmu setelah ini kita makan malam." Kata Us Risa dengan sedikit tertawa geli. Dengan tersenyum malu akhirnya Dhiya menuruti perintah Us Risa.
Di meja makan, Abah dan Umi Us Risa sudah menunggu. Sambil menunggu Dhiya, Us Risa bergabung keruang makan tak jauh dari kamarnya.
"Siapa perempuan itu dek?" tanya umi. "Namanya Dhiya mi." jawab Us Risa sambil menceritakan bagaimana pertemuannya dengan Dhiya hingga membawanya kerumah. Abah dan Umi pun tak merasa keberatan dengan tindakan putrinya itu. Beberapa saat kemudian, Dhiya keluar dari kamar. Dengan gamis berwarna maroon tanpa jilbab dan rambut kusut sebahu yang setengah kering disisir asal-asalan. Wajah cantiknya terpancar meskipun kulitnya terlihat berwarna kecoklatan dan kusam. Mendengar suara derit pintu membuat semua orang menoleh kearah ruangan tempat Dhiya berdiri mematung didepan pintu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hanya Dhiya
RomanceHidup adalah sebuah misteri, bahkan untuk bermimpipun aku terlalu takut. Takut apa yang akan terjadi tidaklah sesuai harapan. Jangankan bermimpi, untuk berangan pun aku takut. Pasrah dengan apapun yang akan terjadi. Seakan rasa sakit dan bahagia tak...