Prolog

1.1K 46 6
                                    

Melempar diri ke kasur dengan pakaian penuh dan sepatu masih melekat di kaki, adalah Alice dengan gerutu dan berkas air di matanya. Dari pintu berdebam yang ia tutup kasar, masih terdengar suara Mama dan Papa berdebat-tentu saja, saling menyalahkan satu sama lain atas kesalahan yang diperbuat anak bungsunya.

Tangan Alice mencengkram bantal yang tengah ia peluk, begitu kuat hingga buku-buku di jarinya memutih. Ia kesal, sangat kesal.

Masuk sekolah menengah ke atas termasuk dalam daftar waiting list-nya selama ini. Masa yang orang bilang tidak bisa dilupakan, tempat cinta pertama bersemi, bertemu sahabat sejati, dan hal-hal bagus yang mereka kagumkan. Alice tahu itu, ia sering membaca novel teenlit dan selalu menemukan kisah-kisah menyenangkan tentang SMA.

Sayangnya, Trio Fabulous-dan sumpah, Alice tidak sudi menyebut nama genk itu-merusak segalanya. Euforia yang Alice dapat saat hari pertama, dipuji kakak kelas, dielu-elu sebagai gadis yang cantik oleh anak kriket, bahkan disukai gebetan Roya-ketua trio Fabulous, menyebabkan dirinya harus terlibat masalah terus menerus. Hari-harinya tidak pernah tenang semenjak trio Fabulous menyatakan perang padanya.

Trio Fabs mengurungnya di kamar mandi, maka Alice membalasnya dengan menyiram mereka dengan air bekas cuci daging milik anak klub memasak. Trio Fabs merusak bajunya di ruang ganti, sebagai balasan, Alice mencuri baju mereka bertiga, hingga Trio Fabs memanggil orangtuanya untuk membawakan baju. Masih banyak lagi. Hingga yang terparah, Trio Fabs menyebarkan foto panas Alice saat berciuman dengan Joe, gebetan Roya, pada liburan musim panas di pantai Slireen. Tentu saja, foto itu sampai pada kepala sekolah. Alasan kenapa sekarang ia mengunci diri di kamar, sementara kedua orangtuanya bertengkar di luar.

Entah sudah berapa lama, Alice terbangun dan mendapati langit sudah gelap. Bajunya masih lengkap, kamar berantakan, dan jendela lupa ia tutup. Pasti dirinya terbangun karena makhluk kecil penghisap darah. Alice beranjak untuk menutup jendela dan membenahi dirinya yang kacau.

"Al?"

Alice baru selesai mandi, mengusap rambutnya dengan handuk kecil begitu mendengar ketukan pintu. Ia melangkahkan kaki, kali ini agak ringan, mengingat suara itu bukan milik Mama atau Papa.

Itu Tom, kakaknya.

"Kalau kau mengetuk pintu hanya untuk menambah daftar ocehan yang kudapat hari ini, maaf, kuncinya hilang." ucap Alice tanpa berniat membuka pintu.

Dari luar, Tom mendengus setengah tertawa selebihnya kesal. "Kau tahu aku, Al."

"Kalau begitu, kuncinya telah kutemukan." Alice tersenyum menyambut wajah kakaknya yang muncul di balik pintu. Ia menyuruhnya masuk, lantas cepat-cepat ditutup kembali pintu itu sebelum yang lain ikutan. Kali ini hanya kakaknya yang boleh, tidak bagi kedua orangtuanya.

Tom mengambil tempat duduk di pinggir ranjang. Matanya memicing, memperhatikan ruangan yang tidak layak disebut kamar. Buku-buku tercampur dan menumpuk di sudut ruangan. Poster grup musik aliran Pop kesukaan Alice tidak tertempel sempurna di diding. Aroma debu yang kuat. Isi tas keluar berserakan. Bahkan adiknya ini sengaja tidak menutup lemari pakaiannya. Meski sudah selama ini, Tom tidak pernah terbiasa dengan keadaan kamar yang seratus delapan puluh derajat beda dengan kamar miliknya.

"Kau mau?" Tom mengalihkan pandangannya pada sekotak stik berkrim coklat yang diajukan Alice. Gadis itu sedikit menggoyang-goyangkan kotaknya, agar stik berbentuk lidik tebal itu terlihat jelas.

Keningnya terlipat, "Apa itu masih bisa dimakan?"

Alice menarik tangannya, memperhatikan lekat dimana letak tanggal kadaluarsa tertera. "Di sini dikatakan... dua hari lagi. Masih ada dua hari, jadi kupikir ini aman." Gadis itu kembali menyodorkan stik pada Tom.

Witches in My SchoolTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang