Alchemist Class

593 30 9
                                    

"Alice! Berhenti berlari!"

Entah berapa lama lagi kaki Alice dipaksa berlari. Gadis itu memburu napas, setengah sadar dengan kaki seperti lepas dari engselnya. Lelah sekali. Hanya saja, semangatnya untuk lari tidak pupus. Ia lebih baik mati berlari daripada kehabisan darah karena dihisap mereka berdua.

Ya, di belakang, Sidney dan Leon masih mengejarnya. Kecepatan berlari mereka di atas rata-rata. Cepat sekali. Lebih cepat dari mobil yang mereka kendarai, lebih cepat dari laju motor, mungkin secepat Sky melesat terbang. Mereka hanya berbaik hati menggunakan sedikit tenaga untuk mengejar Alice. Tidak terlihat peluh atau tanda kelelahan kedua lelaki itu, tidak seperti Alice dengan kucuran keringat di badan.

Alice tidak peduli meski tubuhnya melemah, tidak peduli akan pandangan dan dampratan pelajar lain yang tak sengaja ia tabrak, atau pekikan guru yang menyatakan larangan berlari di koridor. Ayolah, siapa yang mau mati meski dihisap oleh lelaki setampan Sidney.

"Penyihir itu!" gerutu Sidney di sela lari kecilnya. Matanya setajam elang, mencari-cari penyihir lain di dekat mereka untuk meminta bantuan. "Lorena! Tolong hentikan dia!" pekik Sidney pada gadis dengan setumpuk buku di tangannya. Gadis yang dipanggil Lorena itu menatap pada Alice sekilas kemudian mengangguk. Buku-buku tadi dipegang dengan satu tangan, sementara tangannya yang lain mulai menggerakkan bracellet yang ia pakai.

Seketika, percikan biru campur ungu melesat ke tubuh Alice, membuat badannya mendadak kaku. Ia tidak bisa bergerak, seluruh sendinya mati rasa. Akhirnya, untuk beberapa menit ia bisa mengatur napas, meski rasanya mustahil sebab Sidney dan Leon malah menghampirinya.

Sidney tersenyum lebar sembari melepas kacamata hitam, menampakkan mata beriris merahnya. "Kau tidak perlu setakut itu."

"Kau pikir kami minum darah manusia? Yang benar saja!" tambah Leon dengan wajah kesalnya. Wajah lelaki berkulit hitam legam itu memang tidak pernah bersahabat sejak tadi bertemu. Mereka tampak seperti dua orang yang berbeda, si ramah dan si cuek.

Alice menatap mereka berdua bergantian, mencari kebenaran dalam ucapan mereka. "Memangnya kalau bukan darah manusia, kalian minum dan makan apa?"

"Sama seperti orang biasa. Darah sebagai suplay energi yang biasa diminum tiga kali sehari, atau lebih kalau dibutuhkan." Jelas Sidney. Lelaki itu menatap dengan lembut, berusaha membuat gadis yang sengaja didiamkan ini mengerti.

Leon lagi-lagi menyahut, "Lagi pula darah manusia itu tidak sehat. Sudah banyak tercampur. Kadar lemak dan racunnya juga cukup tinggi. Apalagi anak kota sepertimu!"

Alice cemberut begitu Sidney tertawa keras. Lelaki berambut pucat itu kemudian menyuruh Lorena melepaskan sihirnya. Tidak bergerak sama sekali selama beberapa menit membuat tubuhnya begitu pegal. Alice menggerak-gerakkan badannya sambil menatap gadis yang tadi sempat menyihirnya. Dia punya bracellet yang sama, hanya berbeda manik dan warna. Tapi sama seperti sifat Leon yang cuek, gadis itu juga berlalu begitu saja tanpa memperkenalkan diri sama sekali.

Sombong!

"Namanya Lorena, siswi terpintar seangkatanku dan Leon." Lagi-lagi Sidney berbaik hati menjelaskan. "Dia tidak sesombong itu, kesibukan membuatnya harus buru-buru, selalu. Ngomong-ngomong, kau ini kelas berapa?"

Alice mengerjab, "Tahun pertama, semester kedua."

"Nah kalau begitu, mari kuantarkan ke ruang tata usaha untuk melihat jadwal kelasmu." Alice mengangguk. Setelah kejar-kejaran dan membuat malu mereka bertiga, Sidney tidak kehilangan kesabarannya pada gadis itu.

"Sid, kau cukup membantuku di sini. Jadi... terima kasih." Ucap Alice tulus. Ia dengan cepat menatap Leon dan menambahkan, "Untukmu juga Leon."

Leon langsung membuang wajahnya. Menyebalkan! Alice sebenarnya juga tidak ingin mengatakan terima kasih pada Leon kalau saja lelaki itu bukan teman Sidney. Lagi pula, kenapa lelaki menyebalkan ini bisa jadi teman Sidney sih?

Witches in My SchoolTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang