Thanks, Sky!

553 42 7
                                    

"Kak, ini bukan monster! Percayalah! Dia bukan monster!" Anila berusaha meyakinkan kakaknya lewat tangan menyilang, berdiri setengah mengangkang di depan Alice layaknya tameng. Sementara di belakang Sky, teman-temannya, semakin keras tertawa.

Sky mendengus. Tidak menanggapi Anila, ia memiringkan sedikit kepala untuk melihat keadaan makhluk berbulu di bawah. Wajahnya penuh kecemasan, kedua tangan ia letakkan di atas kepala untuk menutupi betapa malunya ia. Tadinya Sky  hampir tidak peduli, tapi bracellet di tangan monster aneh itu begitu dikenalinya. Sejurus kemudian, bibir Sky terangkat sebelah.

"Pergilah. Kau tidak boleh bolos pelajaran." satu tangan Sky mendarat di atas kepala Anila, mengusapnya pelan.

"Tapi! Tapi!"

"Aku tahu apa yang harus kulakukan." Sergahnya cepat. "Adikku tidak akan membantah kakaknya, kan?"

Anila menggigit bibirnya pelan, ia menatap ke Alice di bawah lalu ke kakaknya lagi. Ini seperti dilema, tapi Anila memang tidak pernah membantah kakaknya, jadi... "Oh, baiklah."

Serbuk-serbuk menguar dari tubuh Anila, kakinya terangkat dari tanah. Sekali lagi ia memandang Alice. Gadis malang, pikir Anila. Di balik bulu-bulu di sekujur tubuhnya itu, Alice menggeleng sambil mengerenyit, mungkin berharap agar Anila tidak pergi dan tetap menemaninya. Tapi Anila hanya tidak bisa. Ia sampaikan senyuman dan lambaian sejenak sebelum akhirnya melintas di atas hutan.

Ini dia, batin Alice. Akhir hidupku.

"Sky, monster itu pasti tersesat. Kita bisa menjadikannya bahan uji coba tambahan untuk ujian nanti." Seorang lelaki berambut pirang, badan gempal, lebih pendek dari Sky berjalan mendekat. Langkahnya semakin mengerikan diikuti teman-temannya yang lain.

"Hm?" Sky menoleh pada temannya sebentar lalu pada Alice. Ia berjongkok, mengulurkan satu tangan untuk mencengkram dagu Alice lalu memiringkannya ke kanan dan kiri. Alice mati-matian berharap supaya Sky bisa mengenalinya seperti Anila melakukannya, tapi apa yang lelaki dingin itu katakan membuat jantung Alice seakan jatuh ke perut. "Benar, kita bisa memakainya untuk percobaan."

Sekarang lelaki pirang tadi sudah ada di samping Sky, berdiri menjulang. "Iya, kan? Lagipula, ia tidak terlihat berbahaya."

"Menurutmu begitu?" ulang Sky. Tangannya sudah tidak lagi mencengkram dagu, ia mencengkram pergelangan tangan Alice, menutupi bracellet yang gadis itu pakai.

"Tunggu apa lagi, Sky? Mumpung kita sedang longgar pengawasan!" temannya tadi menoleh ke belakang, berceloteh tentang guru pendamping mereka yang cerewet dan taat aturan. Mendengar itu membuat Alice gelisah, ia tidak ingin berakhir jadi monster jelek dan bernasib sial, misalnya saja jadi bahan percobaan. Jadi ia berusaha meronta, melepaskan tangannya dari cengkraman Sky. Beru setelah Sky menempelkan telunjuknya ke bibir, Alice paham kalau itu tanda bahwa ia harus diam.

Apa Sky menyadarinya? Apa Sky tahu itu dirinya?

Alice tidak berani bertanya-tanya, sebab si Rambut Pirang sudah kembali mengawasinya.

"Petra, tapi kurasa dia terlalu lemah untuk jadi percobaan kita." Cetus Sky, entah kenapa membuat hati Alice mendadak tenang. "Kita butuh monster yang kuat dan lebih ganas, bulu-bulu yang hitam mengkilat, dan... tidak jatuh konyol seperti ini."

Sialan, Alice menggerutu dalam hati.

"Yah, kau benar. Tapi tidak ada salahnya mencoba, kan?" si Rambut Pirang tetap bersikeras. Menemukan monster di hutan yang jaraknya dekat sekolah begitu sulit, sebab pengawasan penjaga sekolah begitu ketat. Padahal di ujian nanti, mereka akan diuji menghadapi monster ganas dan berbahaya, tapi pembelajaran hanya sebatas teori tanpa praktik. Ini membuatnya sedikit gelisah.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jun 30, 2015 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Witches in My SchoolTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang