Naya tengkurap di atas karpet sambil membaca buku romantis. Di sampingnya masih ada setumpuk buku yang belum dibaca. Semua masih baru dan berplastik. Sesekali Naya mengambil keripik dari dalam toples lalu mengunyahnya dengan cepat.
"Jadi seminggu ini, lo cuma disuruh baca buku doang?" tanya Iren. Ia sedang sibuk mencatok rambut. Tak jauh dari dari sana, seorang baby sitter tengah mengajak Syifa bermain boneka.
Naya mengangguk. Lalu tertawa. Ia terlalu fokus dengan bukunya. Tadi ia baru saja memborong buku di toko, lalu mampir ke rumah Iren, hendak mengajaknya makan steak.
"Aneh deh editor lo, sampai ngajak makan di luar segala. Modus nggak sih dia?"
Naya memiringkan kepala, kemudian mengangkat bahu. "Bisa jadi. Tapi bukan tipe gue."
"Eh Nay. Coba deh, lo pikir-pikir lagi. Dia editor senior, matang dan mapan. Potensial tahu Nay!" Tangan Iren memukul halus bahu Naya.
Naya langsung terbatuk-batuk mendengar teori ngawur Iren. "Ren, tampilan luarnya alay banget. Nyokap gue bisa ilfil liatnya. Lagian matang apanya? Emangnya buah?"
"Nay, Mas-mas SCBD bisa alay separah apa sih? Lo nya aja yang terlalu pemilih!"
"Aduh Ren. Lo belum lihat sendiri sih, orangnya kayak apa."
"Lo ada fotonya nggak? Biar gue lihat."
"Coba gue cari dulu." Naya membuka website resmi kantor penerbitan tempatnya bekerja, dan mencari daftar editor senior di sana. "Nih, Rangga Suteja."
"Eh kok beda," celetuk Naya saat mengamati foto profil Rangga yang terpampang di sana.
"Mana?" Iren menyambar ponsel Naya. Kedua alisnya terangkat. "Lumayan ah Nay. Rambutnya gondrong, maco gitu ya?"
"Mana alaynya sih. Normal-normal saja kok," imbuh Iren. Ia mengembalikan ponsel Naya.
Di foto itu Rangga mengenakan kemeja warna biru laut dan tersenyum tipis dengan mata belok dan alis tebalnya.
"Tapi kalau ngantor, dia jamet banget Ren!" Naya masih berusaha meyakinkan Iren, kalau ia tidak berlebihan menilai editornya.
"Iya deh percaya Nay," sahut Iren, asal.
Iren sudah selesai menata rambutnya. Sekarang ia beralih ke wajah. Kotak make up Iren terbuka lebar di mana sebagian isinya berceceran di atas karpet berbulu.
"Terus kabar si Rama gimana?"
Ekspresi Naya langsung berubah sedih. Ia duduk dan mendekat pada Iren.
"Sampai sekarang dia belum hubungi gue lagi. Apa dia marah ya gara-gara gue tinggal di tengah kencan?"
Setelah kencan pertama itu, Rama sama sekali tidak menghubungi Naya. Bahkan chat terakhir dari Naya juga tidak dibalas dan sekedar dibaca.
"Bisa jadi, dia marah Nay," sambar Iren sembari menggambar alis dengan terampil.
"Coba deh tanya sama Ugi. Siapa tahu Rama lagi sibuk." Iren mencoba memberikan saran.
"Ah malas banget. Nanti si Ugi ember lagi. Terus dia bilang ke Rama kalau gue nungguin kabar."
"Susah deh Nay kalau gengsi lo gede gitu."
Naya menghela napas sembari memijat pelipisnya. "Pusing gue. Mana Nyokap nanyain terus, kapan punya pacar lagi. Katanya kalau nggak dapat juga, gue mau dijodohkan."
"Bagus dong. Kenalan nyokap lo kan sosialita semua tuh. Anak-anaknya pasti nggak mungkin kaleng-kaleng Nay."
Punggung Naya langsung tegak. Seperti ada lampu menyala di kepalanya. " Iya juga ya Ren."Kedua alisnya naik ke atas.
KAMU SEDANG MEMBACA
Menanti Jodoh (Segera Diterbitkan)
RomancePernikahan Naya gagal karena Abi kabur di hari H, padahal mereka sudah berpacaran selama 12 tahun. Desakan umur yang sudah 30 tahun, dan harga diri, Naya bertekad harus lebih dulu menikah sebelum Abi Dibantu sahabatnya, Ugi dan Iren. Naya menghadapi...