"Apa tidak ada minuman selain air soda?"
Dikta yang menyodorkan sebotol minuman dari tas, langsung saja mengurungkan niat begitu suara gerutuan terdengar dari pria paruh baya itu. Ah, baru kali ini Dikta melihat Om Ben berpakaian normal, bukan outfit ke pantai padahal sudah dipastikan sedang tidak liburan ke sana.
"Masih nganggur?"
Rahang Dikta mengeras seketika, menoleh tajam. Baiklah, ia akui pria ini sudah menyelamatkannya dari kecemasan yang timbul entah dari mana, tapi sekarang? Ingin rasanya Dikta melanjutkan perjalanan pulang, tidak seharusnya ia berakhir duduk di taman rumah sakit ini.
"Aku produktif," tekan Dikta. "Om sendiri ngapain ke sini? Melakukan pengecekan kesehatan? Bagian tulang mana yang pa-- ah! Iya! Ampun! Ini telinga, Om! Haish!"
"Tidak masih sekolah, ataupun sekarang sama saja." Pria itu mengibaskan tangan, setelah berhasil membuat telinga Dikta memerah. "Kenapa kamu selalu bikin ulah, hm?"
"Om juga sering menguji kesabaranku," gerutu Dikta, mendengkus. "Meskipun menyebalkan. Aku harus tetap berterima kasih karena Om menolong keluargaku selama ini. Menemani Bang Rean menjalankan perusahaan. Bahkan dulu ketika keluargaku lagi sibuk-sibuknya, Om selalu menyempatkan diri untuk melihat keadaanku, Gio, dan Nanta."
"Wajar, kan?" tanya pria paruh baya itu, dijawab oleh anggukan dari Dikta. "Gimana keadaan Gio sama Nanta? Sudah beberapa minggu Om ada kegiatan, belum sempat mengunjungi kalian sama perusahaan."
Dikta tersenyum samar, mengangguk. "Seperti biasa, rumah tidak akan ramai tanpa kehadiran Gio, dan kami bertiga tidak bisa mengurus diri sebaik ini jika tanpa Nanta."
"Rean?"
Dikta terdiam seketika, tanpa sadar tangan itu mencengkeram lutut dengan erat, tertunduk. "Aku ingin menjawab seperti biasa, tapi abang yang awalnya kukenal bukan seperti dia yang sering kutemukan. Menanggung beban sendirian, seolah-olah aku, Gio, dan Nanta bukan bagian dari anggota keluarganya."
Pria paruh baya itu mengembus napas panjang, sebotol air soda disambar begitu saja ketika Dikta berhasil menghabiskannya setengah. "Dia punya alasan tersendiri. Didikan sebagai penerus perusahaan tidak mudah, apalagi waktu itu keluarga kalian mengalami kemerosotan besar-besaran."
Dikta mengernyitkan dahi, tidak mengerti.
"Bagi kalian, dia terlalu hemat, kan?" tanya pria itu, tertawa pelan.
"Bukan hemat lagi, pelit." Dikta memasang wajah datar. "Proposal pengajuan dana tahunan untuk kebutuhan kita, nggak cukup itu, dari uang tahunan yang kita punya tidak langsung dicairkan, harus buat pengajuan bulanan dulu."
"Udah lama Om nggak lihat muka kesal kamu kayak gini." Pria itu tertawa kembali, mengacak puncak kepala Dikta dengan cepat. Jika dulu saat bangku sekolah ia begitu benci menerima perlakuan seperti anak kecil ini, maka sekarang di dalam diri sana ada rasa ingin.
KAMU SEDANG MEMBACA
Brother Notes [OPEN PRE-ORDER]
Teen FictionDi dunia yang menyebalkan ini, ada sebuah rahasia yang paling ingin Rean sembunyikan hingga mati. Tidak peduli orang-orang menganggapnya seperti apa, yang pasti biarkanlah rahasia penuh kelam itu menjadi tanggungannya. Namun di sisi lain, semenjak k...