Part 1

1.9K 45 0
                                    

Seperti sekolah pada umumnya. Hari ini adalah hari Senin, di mana seluruh sekolah akan mengadakan upacara pengibaran bendera. Semua siswa-siswi akan dijemur di tengah lapangan di bawah teriknya matahari. Sudah menjadi tradisi setiap sekolah melaksanakan hal seperti ini. Begitu pun dengan sekolah satu ini. SMA Bumi Pelita, mereka baru saja selesai melaksanakan upacara. Beberapa siswa-siswi berhamburan pergi ke kantin hanya sekedar membeli minum untuk membasahi tenggorokan mereka yang terasa kering. Ada juga yang ke perpustakaan untuk sekedar tidur, dan ada juga yang di kelas karena lelah.

Seorang gadis cantik kini tengah menyusuri koridor, senyum manis tercetak jelas di wajahnya. Ia berjalan pelan menuju kelas XII IPA dengan tangan yang membawa kotak bekal.

"Semoga kali ini, Herza gak nolak," gumamnya dengan name tag Syaqela Arumi.

Langkahnya terhenti kala sudah berada di depan kelas XII IPA.

Syaqel menarik napas pelan, berusaha mengatur detak jantunhnya yang berdetak kencang. Ia harus mempersiapkan mentalnya untuk ini.

"Bismillah," ucapnya.

Langkah jenjangnya mulai memasuki kelas XII IPA. Ia berdiri di depan salah satu siswa yang tengah membaca buku. Herza, ya dia adalah cowok yang disukai oleh Syaqela. Cowok dengan tubuh tinggi semampai, rambut yang  sebagian menutupi dahi, serta kulit sedikit coklat menambah kesan ketampanannya. Herza termasuk mostwanted boy di SMA Bumi Pelita, tak sedikit yang tertarik padanya. Namun, sikapnya yang keras dan sedikit kasar membuat banyak wanita mundur untuk mendapatkan hati seorang Herza Falanio. Kini, hanya Syaqela Arumi yang masih bertahan meperjuangkan cowok dengan sikap yang keras tersebut. Sudah banyak cacian serta makian yang didapatinya. Namun, tekadnya jauh lebih besar dari semua itu. Sampai sekarang Syaqela tetap berusaha mendapatkan hati Herza.

Syaqela meletakan kotak bekal yang sempat ia siapkan di rumah tadi. Ia menyodorkannya pada Herza.

"Ini makanan buat kamu, aku buatnya tadu subuh. Ini spesial buat kamu, karena aku tahu kamu belum sarapan," ucapnya lembut.

Herza melirik sekilas kotak bekal di depannya, lantas ia mengalihkan pandangannya pada Syaqela yang tengah menatapnya dengan tatapan penuh harap.

"Bawa balik, gue gak butuh makanan dari lo," tolak Herza mentah-mentah.

Ada setitik rasa sakit yang datang di reluk hati Syaqela, tapi sebisa mungkin ia tetap tenang. Toh, ini bukan kali pertamanya Herza seperti ini.

"Tapi, Za. Kamu belum makan, setidaknya kamu makan sedikit aja."

"Gue gak mau makan makanan buatan lo, ngerti?"

Tak berhenti sampai di situ saja, Syaqela terus membujuk Herza untuk memakan masakannya.

"Sedikit aja," pinta Syaqela berharap cowok di depannya itu luluh.

Herza mendorong kursinya kebelakang secara kasar. Ia bangkit, menatap  Syaqela dengan tatapan tajamnya.
Degup jantung Syaqela berpacu cepat, ia segera menyiapkan diri untuk menerima segala konsekuensi yang terjadi.

"LO PUNYA TELINGA KAN? GUE BILANG GAK MAU, YA GAK MAU. GAK USAH MAKSA, NGERTI KAN?!" Suara Herzan menggema seisi kelas. Membuat beberpa penghuni kelas terlonjak kaget. Begitupun dengan Syaqela yang tak kalah terkejutnya.

"Aa--aku cuma mau kamu makan masakan aku sedikit aja, Za," ucap Syaqela pelan.

"Tapi gue gak mau. Lo kenapa belum kapok sih gue giniin. Mau sampai kapan hah?! Gue capek liat muka lo terus!" bentak Herza.

Syaqela terdiam, seterbiasanya ia seperti ini tetap saja rasanya sakit dan takut. Semua penghuni kelas tak berani mencampuri urusan mereka, terlebih mereka sangat tahu betul siapa Herza sebenarnya. Jika berani mencampuri kehidupannya sedikit saja, tak akan segan Herza memberi perhitungan.

"Berehenti ganggu gue." Setelah mengatakan itu Herza lantas mengambik ponselnya dan  pergi meninggalkan kelas.

Syaqela menatap nanar kota bekal miliknya, lantas ia beralih mentap punggung Herza yang turut hilang di telan jejak.

"Kenapa kamu selalu kaya gini, Za," guman Syaqela pelan.

Ia mengambil kembali kotak bekalnya,memilih kembali ke kelasnya.

Langkah gontainya menyusuri  koridor.
Ia menghentikan langkahnya kala sudah sampai tempat duduknya.

"Ditolak lagi?" tanya seorang gadis blasteran Indo-Belanda, Janisa namanya.

Syaqela menganggukan kepalanya lemah, teman-temannya selalu tahu seberapa keras Syaqela memerjuangkan Herza.

"La, mending lo nyerah aja deh. Bukan apa-apa, gue kasian sama lo yang tiap hari harus di bentak sama cowok kasar itu. Makanan lo juga selalu ditolak, kalo gak dibuang ya dikasih sama orang lain," timpal Sasa, teman Syaqela.

Syaqela menatap tajam kedua temannya itu. Apa? Mereka menyuruh dia menyerah?.

"Lo berdua nyuruh gue nyerah?" Jika bersama orang lain Syaqela memang menggunakan kata 'Lo' dan 'Gue'. Namun, jika bersama Herza lain lagi ceritanya.

Kedua teman Syaqela mengangguk-angguk kepalanya, menjawab pertanyaan Syaqela barusan.

"Jan, Sa. Lo berdua tahu segimana kerasnya gue berjuang buat dapatin Herza. Bahkan lo berdua juga tahu kalo gue suka sama dia dari kelas 10 kan? Kenapa dengan mudahnya lo berdua nyuruh gue buat nyerah?" tanya Syaqela tak percaya.

"Kita ngerti, La. Tapi, kita juga gak mau lo terus kaya gini. Kita prihatin liat lo kaya gini."

Sasa menganggukan kepalanya, menyetujui penjelasan dari Janisa.

Syaqela menghembuskan napas pelan, ia tak ingin menyerah sampai di sini. Kata orang, kalau serius cinta kita harus mengejar cinta itu. Saat ini Syaqela tengah mengejar cintanya.
Syaqela menatap kedua temannya seraya tersenyum, "Gue gak papa, kok. Kalian tenang aja."

Mereka memutar bola matanya malas. Temannya yang satu ini memang sangat keras kepala,apalagi jika sudah menyangkut Herza.

"Terserah," final Janisa.

Syaqela terus tersenyum. Ia akan terus mendapatkan hati seorang Herza Falanio.

                               ****

Sementara di sisi lain, Herza tengah sibuk meninju samsak dengan kerasnya. Bahkan punggung tangannya sudah sangat memerah, nyaris lecet.

Setelah kepergiannya dari kelas, Herza memutuskan untuk pergi ke ruang latihan karate. Di mana ia biasa melampiaskan amarahnya di sini dengan leluasa.

"Argh! Kenapa lo harus hadir Syaqela!" teriak Herza.

Gerakan tangannya terhenti, ia mengusap wajahnya frustasi.

"Za."

Herza mendongakan kepalanya, menatap seorang cowok yang berada di depannya. Dia adalah Devan, sahabat Herza selama tiga tahun ini.

"Lo kenapa? Syaqela?" tanya Devan yang sudah sangat paham dengan kondisi sahabatnya itu.

Herza menganggukan kepalanya, keringat sudah membasahi dahinya.

"Jujur, gue gak tega perlakuin dia kaya gini. Gue juga gak mau nyakitin dia, Van," ucap Herza parau.

Devan menepuk-nepuk pelan pundak sahabatnya itu.

"Gue ngerti, makanya gak ada salahnya lo terima dia. Setidaknya sebagai teman, Za."

"Tapi lo tahu sendiri kondisi kita, Van."

Devan menghembuskan napas pelan, serba salah mempunyai sahabat yang seperti ini.

"Terserah," ucapnya.

Herza pun turut menghembuskan napas pelan. Tangannya kini mulai terasa sakit.

Seamin Tak SeimanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang