05

138 27 0
                                    

"Jadi?" tanya Ziya yang kini menyandarkan tubuhnya pada wastafel di samping Rana dengan kedua lengan dilipat di depan dada.

Rana yang sedang mencuci tangannya di wastafel pun menoleh menatap Ziya sesaat sebelum akhirnya melanjutkan geraknya mematikan keran. Hanya ada mereka berdua di toilet perempuan. Lanjut meraih tisu yang tersedia di samping wastafel untuk mengeringkan tangannya, Rana benar-benar mengabaikan pertanyaan Ziya yang sangat tidak berkonteks itu.

Kesal karena pertanyaannya tidak digubris, Ziya menghalangi Rana yang hendak melangkah meninggalkan toilet. "Na?"

Mata Rana bergerak menatap Ziya yang kini berdiri tepat di hadapannya. "What?"

"Lo sama Aksa ada sesuatu, ya?" tanya Ziya menyipitkan kedua matanya pada Rana.

Sejak pertama kali melihat sosok Aksa berdiri di samping Rana pagi tadi, Ziya benar-benar tidak bisa mengalihkan pandangannya dari lelaki itu. Siapa yang tidak jatuh hati dengan laki-laki semenarik Aksa? Ziya rasa tidak ada. Namun, tidak berlangsung lama, Ziya langsung mengurungkan niatnya untuk mencoba dekat dengan Aksa. Ia menemukan dunia Aksa ternyata berpusat pada Rana. Selama meeting berlangsung, Ziya sesekali melirik Aksa dan mendapati lelaki itu tidak meninggalkan pandangannya sekali pun dari Rana. Saat dirinya beralih menatap Rana, Ziya menemukan perempuan itu tampak tidak mengetahui apa-apa atau mungkin berpura-pura tidak tahu apa-apa.

Rana mengerutkan keningnya bingung, "Maksud lo?"

"Lo lagi pura-pura atau emang nggak tau, sih, Na?" tanya Ziya menguji Rana.

Di hadapannya, Rana tampak tidak menangkap maksud dari pertanyaannya. Namun, di detik berikutnya, Ziya menemukan hal lain yang Rana sedang coba tutupi. Perempuan itu tampak ragu seperti ada hal yang perlu dirinya ketahui namun belum saatnya.

"He got an eye on you," ujar Ziya dengan suara pelan.

"Hah?" gumam Rana dibuat bingung oleh Ziya. "Maksud lo? Aksa? Ke gue?"

Ziya mengangguk yakin. "Iya. Lo berdua juga keliatan deket udah lama?"

Rana tersenyum kecil kemudian menegakkan tubuhnya menghadap Ziya. "Zee, kalo lo mau deketin Aksa, go on. He's just someone I knew in the past."

Mendengar fakta mengejutkan yang Rana lontarkan dengan begitu santai, Ziya dibuat terkejut. "Hah? Bentar. Lo kenal Aksa sebelum ini? Sebelum dia kerja sama lo sekarang?"

Rana mengangguk pelan. "Temen sekelas pas kuliah."

Ziya mengangguk paham. Pantas saja Rana dan Aksa tampak dekat tetapi juga berjarak di saat yang bersamaan. Rupanya, keduanya memang sudah mengenal satu sama lain sebelumnya. Semuanya pertanyaan di dalam benak Ziya tentang Rana dan Aksa yang terjawab dengan jelas.

"So, how can I help you, Zee?" tanya Rana sembari melipat kedua tangannya di depan dada.

Ziya mengernyit bingung kemudian mengarahkan kedua tangannya pada Rana. "No, thank you. I am talking about you."

Rana ikut mengernyitkan dahinya bingung. "Kenapa gue? Kan, lo-"

Ziya mengangkat telunjuk kanannya sesaat sembari menggeleng. "Buat apa, Na, kalo hatinya Aksa udah keisi sama lo?"

"He's not," balas Rana.

"He is, indeed. Stop being denial," balas Ziya tak mau kalah.

Rana kemudian menatap kedua bola mata Ziya meyakinkan bahwa apa yang baru saja perempuan itu katakan sangatlah tidak mungkin. "I've hurt him once. Jadi, apa yang lo bilang itu nggak mungkin, Zee."

When Eyes Spell the TruthTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang