1. Awal yang Sampah

68 10 19
                                    

1. Awal yang Sampah

"Dari mana kamu?"

Pertanyaan menyelidik dari Bunda menghentikan langkah Naviita di ambang pintu. Tatapannya tertuju pada Bunda Harsa yang tengah berbaring di sofa sambil membaca majalah. Pasti menunggu dirinya pulang.

Karena Naviita tak kunjung menjawab, hal itu membuat Bunda duduk dan melemparkan majalahnya ke atas meja. "DARI MANA KAMU, NAVIITA?"

"Main."

Bunda lantas berdiri dan menyilangkan kedua tangannya di depan dada. "Jam berapa sekarang? Buta kamu gak bisa liat jam?"

Pertanyaan sarkas dari Bunda membuat Naviita tanpa sadar melihat jam dinding di atas televisi. "Jam sebelas."

"Kenapa baru pulang?" selidik Bunda dengan sedikit menaikkan dagunya. "Mau jadi anak jalanan kamu?"

"Cuma main, Nda."

Mendengar jawaban Naviita, mata Bunda melebar disertai geraman tertahan. "Oh, cuma main? Iya? CUMA MAIN? CUMA MAIN TAPI GAK TAU WAKTU. TIDUR AJA SANA DI JALAN KAMU. GAK USAH PULANG."

Menghela napas malas, Naviita merotasikan matanya pelan. Telinganya panas mendengar ocehan Bunda. Masa bodoh dengan Bunda yang akan mengamuk. Ia ingin tidur. Besok hari sekolah dan ia harus bangun pagi. "Ya udah kalo gitu. Nav mau ke kamar, tidur."

Baru dua langkah Naviita maju, Bunda mendekat dan mencengkeram lengan kirinya. Ia kira, Bunda akan berbicara, namun tidak. Bunda menyeret dan melemparkannya ke atas sofa.

"Diajarin siapa kamu itu, huh? DIAJARIN SIAPA?" bentak Bunda. "Bunda pernah ngajarin kamu kurang ajar sama orang tua kayak gitu? Bunda pernah ngajarin kamu gak sopan gitu? Kalo ada orang ngomong didengerin. Bukan ditinggal pergi."

Tanpa sadar, kedua tangan Naviita mengepal. Bukan sekali dua kali Bunda memarahinya seperti ini. Tetapi rasanya tetap sama, memuakkan. Bahkan ia berusaha meredam rasa kesalnya dengan pandangan ke lantai. Ucapan Bunda tidak bisa ia terima.

"Kamu gak bosen dimarahin Bunda? Kamu gak capek dimarahin Bunda? Kamu gak kesel emang dimarahin Bunda? Bunda aja bosen, Bunda aja males, Bunda aja capek."

Mendengar ucapan Bunda membuat Naviita berdecak pelan. "Ya bosen, Nda. Tiap hari ngoceh terus. Lagian Bunda kalo bosen, kalo capek, gak usah marah-marah, Nda. Diem aja udah."

Bunda lantas melotot dan mengapit pipi Naviita dengan kedua jarinya-telunjuk dan jempol. Menekan kedua pipi Naviita seraya berucap, "Udah pinter ngebantah kamu, ya?"

"Tadi Bunda na-"

"SIAPA YANG NGAJARIN? BUNDA PERNAH NGAJARIN KAMU BANTAH KAYAK GITU? UDAH PINTER YA KAMU SEKARANG?"

Serba salah. Posisi Naviita jelas serba salah. Diam salah, menjawab juga salah. Lagipula, Bunda bertanya, bukan? Salah jika ia menjawab pertanyaan Bunda? Harusnya tidak.

Bunda menarik dagu Naviita supaya gadis itu menatapnya. "Ngapain pulang? Huh? Masih inget punya rumah. Tidur di jalan sana. Tidur sama temen kamu sana. Anak gak punya adab sopan santun sama orang tua."

Suara Naviita hirap. Digantikan dengan napasnya yang sedikit memburu. Suara detak jam dinding juga turut mengiringi. Jelas, semua ucapan Bunda tidak bisa ia terima. Jelas, ini semua memuakkan dan menjengkelkan baginya.

"Jawab pertanyaan Bunda! Main ke mana kamu sampe gak inget waktu?" Bunda menyilangkan kedua tangannya di depan dada dengan dagu sedikit terangkat.

"Ke rumah Arjun."

Sudut bibir Bunda terangkat dengan kekehan pelan. "Beneran udah pinter, ya, anak ini. Main ke rumah cowok, sampe malem. Ngapain aja kamu di sana, huh? Bunda pernah ngajarin kamu main ke rumah lawan jenis sampe malem gini?"

BK PRIDETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang