3. BK yang Ke-seribu

38 5 3
                                    

3. BK yang Ke-seribu

"Kalian lho ngapain seh, Nak, manjat-manjat tembok belakang kayak gitu, hah? Kan lebih enak di kelas. Adem, dengerin guru, ngobrol sama temen." Pak Kusen—guru BK—menghela napas pelan seraya menyandarkan punggungnya pada sandaran kursi. Lelah sekali menghadapi siswa-siswa menjengkelkan seperti Naviita, Kavin, dan Arjun. "Kalian mau kabur?"

"Iya, Pak."

Bukannya memarahi atau memberikan wejangan, Pak Kusen malah memberi saran. "Kenapa gak lewat gerbang depan aja? Toh kalian udah nyogok Pak Sairi, kan? Tinggal ambil motor terus gas kabur."

"Pak," tegur Bu Arum—guru BK—yang duduk berseberangan dengan Pak Kusen. Matanya sedikit melebar saat mendengar ucapan rekannya. "Kok malah dikasih saran?"

Pak Kusen berdecak pelan. "Ya mereka aneh. Ada yang gampang nyari yang sulit."

"Pengen cari sensasi baru, Pak," sahut Arjun memberikan alibinya. Lelaki itu duduk di samping Kavin. Ia menyengir lebar saat Pak Kusen menatapnya malas.

Pak Kusen beralih pada Naviita yang sedang menguap. "Naviita. Kamu cewek mau manjat-manjat kayak gitu. Apa gak kecantol itu rokmu, heh?"

"Nggak, sih, Pak. Saya lewat bawah. Pintu di tengah-tengah gerbang gak digembok." Naviita mengusap wajahnya pelan. "Kok saya ngantuk banget, ya, Pak?"

"Kalo ngantuk ya jangan tidur di sini. Gak ada yang nggotong kamu."

"Saya juga nggak minta digotong, Pak."

Pak Kusen kembali berdecak. Muridnya yang bernama Naviita itu memang tidak jelas. Habis botak kepalanya meladeni siswa macam begini. "Lha terus ini Kavin sama Arjun kenapa manjat?"

"Bodoh emang, Pak, anaknya. Ada yang mudah nyari yang sulit," sahut Naviita menyandarkan kepalanya pada sandaran kursi dengan kedua tangan terlipat di depan dada. "Udah kesulitan, ketahuan lagi."

"Dasar Navinjing. Gitu gak bilang dari awal." Arjun mengumpat seraya mendorong pelan kepala Naviita. Agak kurang ajar memang temannya itu. "Malu-maluin."

"Makanya, lain kali itu diperhatikan. Jangan asal manjat. Belum turun udah ketahuan duluan. Kan gagal tuh acara kabur kalian. Rugi, kan?"

"Rugi, Pak."

"Lagian kalian ini kok mesti bertiga. Udah punya geng sendiri apa gimana? Kok ya lengket bertiga kemana-mana. Udah seperti pasangan yang gak terpisahkan. Kalian ini— duh, pusing saya." Pak Kusen mengacak rambutnya kasar. Ia benar-benar frustrasi menghadapi ketiga murid di depannya ini. "Catetan banyak, poin banyak. Kok ya saingan sama anak lain. Saingan itu yang bagus dikit. Tentang nilai kek, lomba kek. Malah saingan dapet poin di BK."

Sudut bibir Naviita terangkat dengan alis yang ia angkat pula. "Kalo itu buat anak SMAMELSA, Pak. Lagian kita punya nama geng. Trio Kepret SMAMELDA. Keren, kan, Pak?"

"Enggak," pungkas Pak Kusen. "Yang ada saya tambah gila ngadepin kalian."

Decakan disertai kekehan terdengar dari mulut Kavin. "Bapak ini sok cool banget. Padahal Bapak dulu juga langganan BK, kan?"

Mendengar itu, Pak Kusen lantas terkekeh pelan. Tak mungkin juga ia membantah ucapan Kavin yang membuatnya mengingat masa-masa 25 tahun lalu. "Ya bener. Cuma sekarang saya sekarang udah tobat. Ingin menciptakan generasi yang lebih baik. Lha kalian ini kapan tobatnya?"

"Nunggu dua lima tahun lagi, Pak. Biar sama kayak Bapak."

"Hadeuh," keluh Pak Kusen yang hanya dapat menghela napas panjang. Bisa-bisa ia mengalami penuaan dini jika begini terus-terusan. "Kalo gitu lain kali kalo mau bolos, jangan lewat gerbang belakang."

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Feb 15, 2023 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

BK PRIDETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang