Ayah: Mino lagi di mana?
Ayah: Lagi sama Kakak?
Mino: Iya sama Kakak. Kita lagi di minimarket
Mino: Kenapa Yah?
Ayah: Ayah sama Mama ke sana. Hari ini kita mau ke rumah sakit
Ah iya, hari ini jadwal terapi Kakak
Mino: Oke Yah
Aku lantas menyusul Kak Zio yang hampir sampai di meja kasir.
"Kita nggak pulang? Mau main di taman?" tanya Kak Zio.
"Ayah mau jemput katanya," jawabku.
"Kenapa? Adik capek?"
"Nggak, hari ini Ayah ngajak pergi."
"Sama Mama?"
Aku mengangguk. "Cepat makan es krimnya, nanti keburu cair."
Ah iya, sejak hari di mana Mama marah hanya karena aku tidak ingin mengalah pada Kakak, Kakak sedikit berubah. Terutama sikapnya terhadapku.
Kalian lihat sendiri? Ia cukup peduli padaku. Memanggilku dengan sebutan 'adik' dan perlakuan manis lainnya. Meskipun terkadang ia masih senang merecokiku. Kurasa sebelum Ayah dan Mama sepakat memberikan Kakak terapi, Ayah sudah lebih dulu mengajarkannya agar tidak terlalu masuk ke dalam 'dunianya'.
Dan lagi, beberapa tahun setelahnya aku paham kondisi Kakak. Ya, dia memang istimewa. Aku jadi lebih bisa mengontrol diriku sejak aku tau hal itu.
Ah, perihal minta maaf yang Ayah maksud. Sebenarnya aku paham hari itu juga. Tapi aku tetap ingin mendengarnya langsung dari Ayah. Aku akan menanyakannya nanti.
.
.
.
"Ayah, ada yang mau aku tanyain," ujarku membuka percakapan.
Sembari menunggu sesi terapi Kakak, aku dan Ayah pergi ke kafetaria rumah sakit untuk berbincang-bincang.
"Ya?"
"Ayah inget nggak waktu aku sama Kakak masih SD? Waktu itu aku nangis karena ditampar Mama."
Ayah tampak mengingat-ingat sejenak. "Oh Ayah inget. Kamu mau tanya tentang maaf di hari itu?"
Aku mengangguk sebagai jawaban.
"Alasannya sederhana. Ayah tau sifat Mama, dan kalau hal yang Ayah pikirkan terjadi, setidaknya Ayah menunjukkan kalau Ayah bersimpati atas hal yang kamu lalui."
"Pikiran Ayah bener-bener kejadian."
Beliau tersenyum tipis. "Memang, nggak semua orang paham bahwa orang tua pun bisa salah, karena mereka juga manusia. Nggak cuma orang tua, orang-orang di sekitar kita terkadang nggak terlalu menganggap kata maaf sebagai kata yang penting. Beberapa dari mereka diselimuti oleh ego, sampai-sampai enggan rasanya untuk minta maaf."
"Dan Mama termasuk ke dalam orang-orang itu."
"Tapi dari sana kita bisa memilih, mau jadi orang seperti apa kita. Meskipun hal itu nggak bisa membuat kita sempurna, setidaknya kita berusaha untuk menjadi pribadi yang lebih baik."
Dering ponsel Ayah menginterupsi.
Itu Mama.
Beliau berkata bahwa sesi terapi selesai. Saatnya kembali menemui mereka di ruang terapi.
-
-
-
@SpringgFairyy
KAMU SEDANG MEMBACA
❝K A K A K❞
Fiksi PenggemarAku lelah. Terbesit dalam benakku untuk menjadi seperti dirimu yang hidup tanpa beban. Tapi aku sadar, jauh di dalam sana, kau juga merasakan hal yang sama denganku, 'kan, kak? Seventeen Fanfiction ©Fay