43 : KEEGOISAN, RASA INGIN, HARGA DIRI

212 33 4
                                    

Sepulangnya, lima orang yang seharusnya berada di mobil yang sama, kini berkurang. Om Ben sudah dipastikan menyetir, kecepatannya yang terus bertambah tinggi sering kali membuat Dikta mengoceh selama perjalanan. Sementara Gio dan Nanta?

Kedua orang itu dapat duduk dengan puas tanpa harus berhimpitan dengan Rean yang sejak pergi tadi menimbulkan suasana canggung. Tidak ada yang berani memulai pembicaraan, bahkan untuk bernapas saja harus pelan agar tidak menimbulkan suara.

Menegangkan.

"Jadi, waktu luang yang kamu maksud itu mengajak saya ke sini?"

Naya, gadis yang dengan kardigan krim dan dress putih yang menjulur hingga mata kaki itu mengangguk. Kardigan yang tampak kebesaran itu membuat Rean mengangkat sebelah alis begitu menyadari bahwa gadis ini masih saja terlihat mungil.

Untuk masalah berisik atau tidak, Rean yakin jawabannya tetaplah masih. Naya yang dulu ia kenal, hingga sekarang tidak banyak berubah. Secepat mungkin Rean mengalihkan pandangan, memperhatikan beberapa deret ruko di sekitaran mall begitu rasa bersalah itu lagi-lagi menghantuinya.

"Ayo, masuk."

Rean menurut saja, mengekori dari belakang. Kini keduanya resmi di toko buku, aroma manis kertas seakan jauh lebih mendominasi dibanding pengharum ruangan. Rean ingat, dulu ia seringkali ke sini dan gadis yang selalu tergila akan bacaan tak kalah tebal itu jsudah jelas menandai toko buku sebagai tempat favoritnya.

Awal keduanya bertemu di sini, di mana gadis itu menyadari Rean yang jelas izin di sekolah setelah mengikuti acara penting yang diselenggatakan oleh Papa di perusahaan menjadi topik prasangka buruk Naya. Ya, Naya menganggapnya si pembolos yang selalu mendapatkan predikat baik di kelas. Siapa sangka kalau pada akhirnya ....

"Ah!" Naya berteriak puas, jari telunjuknya mengancung, sesekali mendongak begitu buku yang menjadi perhatiannya tersusun di rak best seller paling atas. "Zombie Eclipse yang kelima!"

Refleks saja, Rean berjinjit untuk meraih, lalu menyodorkannya pada Naya.

"Kamu udah baca? Padahal udah lama seri yang satu sama dua, belum selesai juga sampai sekarang."

Rean menggeleng, tanpa suara. Ia tidak tahu apa alasan Naya mengajaknya ke sini, ingin sekali ia bertanya, tetapi urung. Perlahan mata bundar itu mengerling, membaca blurb buku yang berada di genggaman gadis itu. Ah, kali ini kisah tentang Profesor Gee.

T-tunggu! Mata Rean membulat seketika. Di buku selalu diceritakan bahwa hanya dia dari kalangan profesor yang mengahalangi rancangan penelitian, jangan bilang kalau bagian yang keempat terungkap fakta kalau sebenarnya ....

"Ternyata dia dalangnya," ucap Naya begitu saja, menghempaskan Rean kembali ke realita. Gadis itu mengangkat kedua bahu. "Nggak heran kalau yang kelima jadi best seller, pasti ada alasan Prof. Gee melakukannya. Ya, kan, Re--"

Naya tertawa pelan, memperhatikan Rean di sampingnya. Lelaki itu memang tidak menatapnya, tetapi dari raut wajahnya jelas ingin membeli dan membaca novel itu dengan cepat.

"Kamu mau? Tinggal satu, lho."

Rasa ingin terukir di wajah bundar itu, seperti anak-anak yang menginginkan dan terkagum akan sesuatu, begitulah ekspresi Rean sekarang. Langka sekali.

Brother Notes [OPEN PRE-ORDER]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang