33

11 1 0
                                    

"Mirip banget, gue jadi nggak sadar kalau sikap gue ke dia berubah dengan sendirinya."
-Arana Daniswara


Arana merebahkan kepalanya dimeja, menyerah untuk tetap terjaga kala guru sejarah kembali mendongeng sebab, merdu sekali, Arana mengantuk karena semalam dia kurang tidur. Sudut mata Elang dengan cepat menangkap gelagat Arana yang akan segera pulas, jadi laki laki itu melempar penghapus di dekatnya ke kepala Arana.

Arana meringis lalu menatap Elang dengan mata sayu nya yang tajam seraya memaki tanpa suara lalu mengarahkan jari tengahnya pada Elang.

Tok tok

Guru sejarah berhenti menjelaskan materi lalu menatap murid yang ada di ruangan dengan senyum tipis. "Ah, sepertinya murid baru sudah datang bersama Clara, ya silahkan masuk."

Arana kembali menjatuhkan kepalanya lalu menyembunyikan mukanya pada lipatan siku saat pintu terbuka menampilkan Clara dengan murid baru.

"Permisi pak,"

"Ya, masuk." Clara melanjutkan langkahnya dan duduk ditempatnya sementara si murid baru berdiam di depan kelas, menunggu guru disampingnya memberikan waktu untuk dirinya memperkenalkan diri.

"Silahkan, perkenalan singkat."

"Kenalin, gue Raire Laksana, panggil aja Rai, pindahan dari Buana Bangsa, Jakarta Pusat."

Ah, suara itu, sudah lama sekali Arana tidak mendengarnya.

"Kalau begitu Raire, kamu boleh duduk di kursi kamu. Ada dibelakang Dejun."

"Terimakasih pak."

Arana menegapkan kepalanya lalu menatap Raire yang berjalan menuju kursinya. Raut Arana berubah keruh kala Raire balik menatapnya dengan seringaian. "Apa lihat lihat Ra? Kangen?" Raire berhenti di samping tempat duduk Arana lalu menatap gadis itu remeh. Arana mendengus, "Enggak, cuma mikir aja kenapa cewek ringkih dan cuma punya satu ginjal bisa masuk ke tempat ini. Ah, lo jadi relawan mau mati ya?"

Bugh!

Arana tidak menghindar, membiarkan pukulan itu memukul telak hidungnya. Matanya menatap raut wajah Raire yang mengeruh, lantas gadis itu mengusap bawah hidungnya yang mengeluarkan darah dan membiarkan kerah seragamnya ditarik oleh Raire.

Arana terkekeh pelan lalu berbisik, "orang yang pemarah bakal mati duluan disini, Rai." Raire menggeram, "cewek nggak tau diri, gue udah kasih satu ginjal gue, anjing, tau gitu waktu itu gue biarin aja lo mati."

"Lo yang buat gue kehilangan satu ginjal, lo cuma balikin apa yang udah lo rusak." Raire kembali mengarahkan pukulan yang kali ini Arana tahan.

"Arana Daniswara! Raire Laksana! Kalau masih kalian lanjutkan, keluar dari kelas bapak sekarang juga!"

-00-

Arana mengompres pelan hidungnya dengan ice pack pemberian Clara dan satu tangan lain mengaduk sup nya. "Ara tidak berselera makan? Mau aku suapi?" Arana menggelengkan kepalanya mendengar pertanyaan Dejun lalu kembali fokus mengompres hidungnya yang terasa kebas.

Makanan di depannya tidak tersentuh sama sekali karena menu makan siang kali ini dipenuhi dengan sayur dan tidak ada yang dia suka. "Nanti ada latihan self defense Ara, kamu bisa sakit." Dejun kembali berkata perlahan seraya mengambil alih sendok Arana dan mengarahkan suapan.

"Siapa tau nanti kamu lawan murid baru itu, kalau tidak makan nanti kamu bisa kalah." Arana menggeleng dengan cepat lalu menerima suapan dari Dejun. Tidak, dia tidak boleh kalah.

Natan mendengus geli melihat reaksi Arana, "Keren sekali murid baru itu bisa membuat Arana memakan sayur yang paling dia benci." Arana menatap masam Natan, "lo diem atau gue pukul?"

Oceana ikut terkikik, "Ara lucu sekali kalau jiwa kompetitif mu bergejolak seperti sekarang." Arana mendengus malas dengan mulut tetap menerima suapan makanan

"Sepertinya memang hubungan Arana dan murid baru itu buruk sekali, tadi mereka hampir saling memukul." Natan dan Oceana membulatkan mata terkejut dengan ucapan Clara.

"Sudah bukan hampir, Raire sudah memukul Arana." sela Dejun. Clara mengangguk, "tapi untung saja mereka berdua tidak melanjutkannya."

"Penyebab mereka seperti itu apa?" Natan bertanya dengan atensi penuh pada Clara sementara Oceana ikut menatap penuh penasaran.

"Siapa yang memulai duluan?"

"Raire dulu, dia yang berhenti lalu mereka berbicara."

"Jadi penyebabnya?"

"Aku kurang tau--" kali ini Arana memotong dengan raut kesal, "kalau mau ngomongin gue tunggu gue pergi kek anjing." Arana mendengus kasar lalu berdiri dari posisinya.

Arana melangkah keluar dari ruang makan dengan pandangan mata menatap sekitar, lengang sekali sampai dia mendengar suara langkah kakinya bergema. Arana mengerutkan dahinya samar, ada orang lain dibelakangnya, bau woody dan kayu manis, familiar sekali. Hanya satu orang yang punya bau seperti itu dalam hidupnya.

Arana berbelok menuju gedung asrama, dahinya makin berkerut karena dia merasa masih ada orang yang mengikutinya jadi dengan cepat ia memutar langkah dan belum sempat dia berbicara, mulutnya dibungkam dan badannya ditarik masuk ke dalam ruangan.

-00-

"Gue kira lo penyusup."

Arana mendengus lalu menatap pada sosok yang beberapa detik lalu membungkam mulutnya dan membawanya masuk ke dalam gudang penyimpanan. Laki-laki itu-Angga tentu saja-menampilkan cengiran lebar.

"Padahal parfum gue masih sama, lo ga hapal baunya?" Angga menghela napas pelan, "justru karena itu," Angga menjeda kalimatnya lalu menunjukkan lengan atasnya yang dibalut perban."gue kira semalem yang nggak sengaja ketemu gue di taman belakang itu lo, ternyata penyusup yang nyamar jadi lo."

Arana mengerjap, "nyamar jadi gue? Jadi lo target penyusup itu?" Angga mengangguk, "salah satunya," Arana mendengus. "lebih dari satu? Siapa lagi? Daniswara? emang Daniswara disini?"

Angga mengendikkan bahunya, "yang lain masih kita cari tau, kayaknya orang sama dokumen penting yang mereka cari." Arana menghela napas lalu menyentuh perban di lengan Angga, "ini lukanya dalam?"

"Lumayan, pisaunya tajem, nggak berasa waktu kena tapi satu detik setelahnya langsung berasa sih." Arana mendengus geli lalu dengan iseng menekan pelan perbannya. Angga meringis lalu mencekal tangan Arana, "sakit sayangg, shh."

Arana terkekeh lalu tangan lainnya terangkat dan mengusak rambut Angga pelan, tatap mata keduanya saling bertabrakan. Angga menatap Arana lekat lalu ikut tersenyum saat melihat gadis didepannya masih terkekeh. Satu tangan Angga terangkat untuk mengelus pelan pipi Arana, "lo cantik banget kalau senyum, Ara."

Arana tersenyum geli lalu mendekatkan badannya pada Angga. satu tangannya turun dengan mata tetap menjaga kontak mata. "Udah Gen itu Angga, keluarga gue nggak ada yang jelek mukanya."

Arana mencondongkan mukanya, membuat Angga menahan napas, cantik sekali sampai rasanya Angga bisa mencium gadis itu sekarang juga. Arana terkekeh melihat telinga Angga yang memerah dan menjalar ke muka. Tangan Arana berhasil mendapatkan apa yang dia mau jadi dia segera memasukkannya ke saku roknya dan menjauhkan badan.

"Udah ah, gue mau ke taman belakang." Angga mengerjap beberapa kali lalu menatap saku rok Arana yang menggembung. "balikin dulu rokok sama lighter gue."

Arana menampilkan cengiran lalu buru-buru lari setelah melepaskan genggaman tangan Angga. Arana mengokkan kepala ke belakang sebentar untuk melihat Angga, "ntar gue ganti."

Bruk

Kepala Arana menabrak sesuatu yang keras sampai gadis itu terhuyung kebelakang. Tapi sebelum gadis itu jatuh, sebuah tangan melingkari pinggangnya. Arana mengokkan kepala lalu menatap seseorang yang dia tabrak.

"Hati-hati."

Arana mengerutkan dahi samar karena fokusnya langsung teralih bukan karena kalimat Elang tapi tampilan laki-laki itu, "Lo berdarah Lang."

"Bukan darah ku."

—00—

Tertanda,
07-06-2023
Nalovzz

I'm not AgentTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang