"Memangnya sejak kapan kematian bisa diajak kompromi?"
-Xiao De Jun-Arana menguap lebar, kelas sejarah hari ini entah kenapa lima kali lipat lebih membosankan di mata Arana. Kepalanya ia tumpukan pada satu tangan, kesadarannya sudah semakin menipis.
Ctak
Arana memaksakan diri untuk membuka mata dan yang dilihat matanya saat ini membuat ia terkejut.
Muncul layar transparan mirip proyeksi yang ditampilkan proyektor sebesar papan tulis dengan wajah Angga yang tampak kaku dan pandangan mata tajam. Arana mengendikan bahu, tampak tidak peduli tapi sebenarnya sangat tertarik dengan teknologi baru yang muncul di depan matanya.
"Maaf mengganggu waktu bapak ibu dan murid murid karena saya menyela proses pembelajaran. Panggilan untuk perwakilan yang akan ikut dalam misi, diharap untuk sekarang menuju ruang dewan campuran. Terimakasih."
Layar proyeksi tadi langsung menghilang dengan cepat seperti siaran televisi yang dimatikan tiba tiba.
Arana bersorak dalam hati, akhirnya ia bisa keluar dari kelas sejarah yang membosankan. Ia berdiri dari duduknya diikuti Dejun dan Natan. Ketiganya keluar bersama dan berjalan beriringan di lorong asrama.
"Misinya tidak dipercepat kan?" Pertanyaan Natan langsung disambut gendikan bahu oleh Dejun. "Mungkin?" Arana menggeleng,
"Jangan dulu. Gue masih pingin hidup lama." Suara tawa Natan terdengar mengejek, "kamu takut dengan kematian?" Arana mendengus, "gue masih kebanyakan dosa. Nggak siap aja kalo mati dalam waktu deket "
"Memangnya sejak kapan kematian bisa diajak kompromi?" Tanya Dejun dengan sebelah alis terangkat. Arana mengendikkan bahu. "Mana gue tau."
"Tapi tadi kamu berkata begitu."
"Nggak siap bukan berarti gue ngajak kompromi. Sekalipun gue nggak siap tapi kalo udah waktunya mati ya mati."
Natan dan Dejun manggut-manggut. "Seru juga kalau semisal kematian bisa di negosiasi. Aku pasti akan ada di barisan pertama dalam antrian jika itu benar ada."
"Kenapa banget lo pingin hidup lama?"
"Aku disini saja sudah berarti aku mempertaruhkan nyawaku untuk negara. Ingin saja punya keajaiban hidup lama dan selamat dalam setiap misi." Terang Natan dengan pandangan lurus ke depan.
Arana kembali mendengus, "kalo lo tau konsekuensinya, kenapa malah ngotot? Sekolah normal banyak. Lo tetep bisa ketemu matematika, sejarah, kimia, biologi terus temen temennya yang lain, lo bakal tetep ketemu mereka. Tapi ya lo gak bakal ketemu tes self defense sih, lo ga bakal ketemu pistol, dan lo gak bakal ketemu sama pelajaran ngeretas."
"Lalu kenapa kamu disini?" Natan balik bertanya dengan nada menuntut.
"Tau tuh anjing. Biar gue cepet mati kali makannya dimasukin ke asrama ini." Balas Arana dengan jengkel.
"Tidak ada orang tua yang menginginkan anaknya cepat mati--"
"Kecuali itu adalah orang tua gue."sambar Arana ringan sebelum Dejun sempat menyelesaikan perkataannya.
"Lo belum jawab pertanyaan gue, Natan. Kenapa lo disini padahal lo tau konsekuensinya?"
"Karena aku tau konsekuensinya mungkin?" Jawab Natan tidak yakin seraya membuka pintu Ruang Dewan Campuran.
Ketiganya memilih duduk dalam satu deretan kosong nomer 3 dari bawah. Ruang Dewan Campuran hening meskipun banyak orang diruangan itu.
Pintu kembali terbuka dan menampakkan Angga dengan setelan kemeja putih dan celana hitam panjang lengkap dengan dasi hitam dan jas hitam yang hanya ia sampirkan dibahunya.
KAMU SEDANG MEMBACA
I'm not Agent
Teen FictionHidup Arana sebenarnya normal. Normal sekali. Bangun tidur, sekolah, pulang, tawuran, main ponsel, dan tidur. Siklus hidupnya ya hanya seperti itu. Arana bukan gadis penurut memang, bukan juga gadis yang sangat baik. Arana itu gadis pembangkang. Sus...