"Dik, Gio tumbenan belajar dari kemarin. Kenapa dia?"
Dikta yang membalikkan kata close menjadi open pada pintu kaca kafe menoleh seketika. Ah, untuk beberapa bulan ini, selain berkuliah dan mengambil kendali untuk mengembangkan kafe ini, adiknya itu kerap kali membaca buku tanpa mengenal waktu.
Makan, minum, jika bukan Dikta yang menegurnya maka sudah dipastikan tidak akan menyentuhnya. Dalam hati, Dikta berharap, semoga Gio tidak gila belajar dan bekerja seperti Rean.
Ia memang mendukung, tapi tidak jika Gio sudah mulai mengabaikan diri sendiri.
"Palingan ditantang Rean," jawab Dikta seadanya, membalikkan badan. "Alasan dia buat mimpin perusahaan ditolak, tapi menurut gue wajar. Dia pakai alasan pribadi. Kalau gue jadi Rean, bakal gue keluarkan juga tuh anak."
Reyhan menggeleng pasrah, menuju kasir. Sungguh ia tidak mengerti sifat dari keturunan keluarga Anggara itu. Semuanya sulit ditebak, kadang kala terlalu bersemangat jika ingin mencapai suatu hal, tapi bisa menjadi drop habis-habisan ketika berada di titik terendah.
Tidak lagi seperti orang yang dikenal.
"Lo bisa handle dulu?" tanya Dikta, begitu mengecek pesan dari layar pinselnya. Ia mengembus napas panjang, setengah hati melepaskan celemek. "Tas sama laptop gue tinggal di sini dulu, kalau ada apa-apa lo panggil aja adik gue di ruko atas."
Reyhan mengangguk saja, menghitung lembaran rupiah di sana, merapihkan tata letaknya.
"Kalau Gio tanya gue ke mana, bilang aja gue ambil barang di rumah sebentar," ucap Dikta sekali lagi. "Kalau gue dari siang sampai sore nanti belum pulang juga, tolong minta dia bawakan tas gue, sama jemput Nanta di sekolah."
"Iya, Dik! Iya!" Reyhan mendesis, menepis tangan Dikta dari sebelah bahunya dengan kesal. "Banyak amat permintaan lo, sana pergi! Mau ngapain dah?"
Dikta yang sudah keluar dari meja sirkulasi itu tertawa pelan, memainkan kunci motor dengan jari-jarinya. "Om Ben mau ke rumah, Rean juga. Tadi sebelum pergi ke sini, gue nggak bersih-bersih. Itu rumah berantakkan bener."
Reyhan mengangguk, lalu mengibaskan sebelah tangan. "Pergi lo sana, hush!"
KAMU SEDANG MEMBACA
Brother Notes [OPEN PRE-ORDER]
Teen FictionDi dunia yang menyebalkan ini, ada sebuah rahasia yang paling ingin Rean sembunyikan hingga mati. Tidak peduli orang-orang menganggapnya seperti apa, yang pasti biarkanlah rahasia penuh kelam itu menjadi tanggungannya. Namun di sisi lain, semenjak k...