Beberapa jam sebelumnya ....
Untuk berapa kali Dikta berdecak selama dua jam terakhir, tidak cukup dengan pakaian kotor yang tertumpuk di mesin cuci, kini ia juga harus mengelap setiap sudut ruangan rumah berlantai dua itu. Menyebalkan. Ingin rasanya Dikta mengatakan, memang benar anggota keluarga di rumah ini cukup banyak, tapi jika pada akhirnya membersihkan ruangan sesulit ini bukankah lebih bagus bila rumah diperkecil saja?
Sela-sela tangga, debu yang menempel pada gorden, belum lagi rak buku yang sudah menjadi ciri khas rumah.
Di lantai bawah ada ruang baca tersendiri, lalu di ruang kerja Rean, serta kamar dengan pintu yang tanpa berhiaskan stiker itu dan Nanta yang senantiasa menumpuk peralatan gambar. Hanya kamarnya dan Gio yang aman, mekipun sebenarnya jauh lebih rumit untuk membersihkan, mengingat peralatan komputer dan teknologi lainnya yang memenuhi kamar.
"Satu jam lagi," gumam Dikta, menatap jam beker di kamar Rean, sembari menenteng vakum cleaner. Suara desingan jelas terdengar begitu kuat saat mesin dihidupkan. Baiklah, akan ia selesaikan sebelum Om Ben dan Rean mengunjungi rumah ini.
Tenaga dipertambah, sesekali Dikta mengyeka keringat dengan punggung tangan. Sontak, gerakannya terhenti seketika begitu bagian bawah alat pembersih menabrak sesuatu di bagian bawah tempat tidur.
Dahinya mengernyit heran, lalu menundukkan badan, setengah mengecek barang apa yang berada di sana. "Brangkas?" gumamnya, begitu mendapati kotak kecil berbahan besi tebal yang tertera di sana. Tangannya perlahan terulur, tetapi urung.
Ayolah, bukankah itu privasi Rean? Jika situasinya berbalik, ia juga akan marah bila diusik, kan? Tapi, di sisi lain, ia juga penasaran, apa yang tersimpan di sana. Uang? atau sejenis aset lainnya? Dikta tau benar tipikal Rean, meskipun sulit untuk mempercayai orang lain, tapi dalam memegang barang seperti itu abangya cukup sadar diri bahwa ceroboh sudah melekat jelas pada kepribadiannya dan lebih menyerahkan ke pihak bank untuk menyimpan.
Lagipula, si sibuk Rean itu masih banyak pekerjaan lain selain mengurus hal-hal seperti itu. Lantas apa?
Rasa penasaran yang jauh lebih mendominasi dibandingkan prinsip, akhirnya Dikta memutuskan untuk meraih. Ia mematikan vakum cleaner setelah ruangan benar-benar bersih, lalu menjulurkan kaki, membawa brangkas itu ke pangkuan sembari memperhatikan tiga angka sebagai kunci untuk membuka.
"Kurang ajar," umpatnya pada diri sendiri. Ini bukan sistem komputer atau sejenisnya, mana mungkin ia bisa membukanya dengan mudah? Apalagi orang itu Rean pasti akan membuat angka yang .... Ah! Mata Dikta membulat seketika menjentik jari dengan semangat. Si pelupa itu pasti memakai angka yang mudah diingat, kan?
Tanggal ulang tahun Rean, ia, Gio, dan Nanta. Dikta terus memutar angka yang tidak jauh dari tanggal tersebut. Nihil. Entah untuk berapa kali ia memecahkan, tetapi tombol masih keras seakan menguji kesabarannya. Dikta mengembus napas gusar, menatap sekeliling kamar Rean dengan kesal. Apa mungkin edisi buku favorit abangnya itu?
Zombie Eclipse yang terdiri dari buku satu hingga tiga. Dikta mencoba, memutar tiga digit angka. Masih juga salah, ia meraih buku tersebut, melihat beberapa halaman kalimat yang ditandai sebagai bagian kesukaan. Nihil.
"Sial." Dikta meletakkan kembali novel dengan sekali hentakan. Tidak ada lagi petunjuk yang ia temukan, kecuali ....
"Tanggal lahir Papa." Dikta mencoba, begitu juga dengan tanggal lahir Mama. Tidak berhasil juga, Dikta memukul brangkas dengan kesal, lalu tertawa sinis. Bodoh, secerobohnya Rean mana mungkin memakai sandi selemah itu? Paling-paling Rean hanya menggunakannya pada kartu ATM Gio dan Nanta yang jelas dipegangnya. Rean yang penuh kehati-hatian dan rasa curiga, pasti akan membuat sandi yang tergolong rumit.
Habis akal, Dikta meletakkan kembali barang, lalu bangkit dan meraih kain lap setengah basah yang tertumpu di bahu. Sepertinya untuk beberapa hari ke depan Dikta ingin mengajukan aksi protes kepada Rean, bukan masalah sandi-ia tidak mungkin menyerahkan diri ke kandang singa begitu saja-, melainkan masalah membersihkan kamar. Mengelap debu pada setiap bingkai foto yang ada seharusnya tidak memakan waktu sehari, kan? Pasti Rean bisa melakukan.
"Tanggal pesta pernikahan Papa Mama." Entah ide bodoh mana yang mendadak terlintas di pikiran. Kali ini ia benar-benar merutuki pikirannya begitu memperhatikan foto formal ke enam keluarga yang tertera di meja nakas. Rean yang benar-benar seperti jiplakan Papa, tidak cukup dengan gayanya, tetapi juga sikapnya dalam memimpin suatu hal. Sementara Mama? Dikta tidak tau siapa yang benar-benar mengikuti jejak Mama, pandangan lembut, memiliki ambisi yang cukup kuat meskipun tidak separah Papa. Mama yang bergerak dalam diam, tetapi akan mengumpulkan berbagai informasi hingga ke akar.
Nanta? Gio?
Dikta mengangkat bahu, bukan saatnya memikirkan hal tidak penting seperti itu.
"Coba ajalah, Dik," gumam Dikta, menyemangati diri sendiri. Ia meraih brangkas kembali memutar angka yang berhubungan dengan tanggal pernikahan kedua orang tua itu. Dikta tidak hafal sebenarnya, sampai ia melihat tanggal foto yang tercetak di sisi kanan. Ya, foto yang Dikta ingat ketika usai merayakan bersama keluarga, hari di mana kedua paruh baya itu serta Rean kembali ke rumah dan mengajak seluruh anggota keluarga untuk makan di luar bersama.
Napas Dikta terhenti seketika, matanya membulat tidak percaya begitu tombol kunci dapat ia tekan dengan mudah. Terbuka. Perlahan, ia dapat melihat puluhan lembar kertas foto di sana, tidak ada objek yang janggal, hanya ada foto Papa yang sedang melaksanakan pekerjaan bersama salah satu staff kepercayaan. Wajah yang tidak asing bagi Dikta, tapi ia sama sekali tidak dapat mengingat itu siapa.
Paling-paling kebetulan jumpa ketika beberapa kali ia mengunjungi perusahaan. Jangankan ia yang sama sekali tidak peduli, Rean yang sekarang menduduki jabatan tinggi itu sudah pasti tidak mengenal seluruh karyawan apalagi bila ditambah dengan jumlah orang yang bekerja di beberapa anak perusahaan tidak dapat mengingatnya.
Dikta mendelik, meletakan foto-foto dengan kesal. Rasa penasarannya tidak terbayarkan dengan hasil yang puas. Apa yang perlu dipermasalahkan? Jika ada, paling menyangkut masalah perusahaan dan Dikta yakin abang pertamanya itu dapat menyelesaikan permasalahan dengan mudah. Ya, akan terlihat mudah hingga pada akhirnya ia menemukan secarik dokumen penting yang tergulung dengan rapi.
"Kenapa lo terlalu banyak ingin tau, Dik? Padahal hal yang lo tau nantinya bukan sesuatu yang terbaik buat lo."
Ujung jari Dikta mendingin sesaat, ia yang tadi terus meremehkan kini pada akhirnya terdiam. Beberapa kalimat yang terus Rean ucapkan mendadak terlintas di pikirannya. Jadi, maksud Rean waktu itu ....
Bunyi bukaan pintu dari lantai bawah terdengar, memecah fokus begitu saja. Secepat mungkin ia mengemas, tetapi diam-diam mengambil dokumen begitu saja, bergegas menuju lantai bawah.
"Baru selesai bersih-bersih? Lantainya masih licin."
Dengan wajah yang memucat, Dikta berusaha sebisa mungkin tertawa, menyambut kehadiran kedua orang yang memasuki rumah. Rean yang tampak tidak peduli dan bersikap seperti biasa. Sementara Om Ben? Pria paruh baya yang senantiasa melontarkan kalimat sarkas dan menyebalkan itu mengernyitkan dahi seketika seakan menyadari perubahan raut wajah dari Dikta.
"Ada apa?" tanyanya, membiarkan Rean berjalan terlebih dahulu meniti anak tangga.
Perlu waktu beberapa detik bagi Dikta untuk mengambil kembali napas, lalu menelan ludah begitu rasa tercekat memenuhi tenggorokannya, setengah menyodorkan dokumen yang tadi diam-diam ia sembunyikan di saku celana.
"Aku tahu apa yang kalian sembunyikan."
___
Thanks for reading! I hope tou enjoy it!
Vote, komen, dan sarannya sangat membantu!
Up : 21.05.22
Besok apdet?
KAMU SEDANG MEMBACA
Brother Notes [OPEN PRE-ORDER]
Teen FictionDi dunia yang menyebalkan ini, ada sebuah rahasia yang paling ingin Rean sembunyikan hingga mati. Tidak peduli orang-orang menganggapnya seperti apa, yang pasti biarkanlah rahasia penuh kelam itu menjadi tanggungannya. Namun di sisi lain, semenjak k...