Laras berlari menghindari kejaran Diani – mamanya -. Sudah susah payah dia mengendap-endap demi kabur akhirnya malah ketahuan juga karena Yudis – tetangga sebelah rumahnya – berteriak memanggil namanya. Napasnya sudah tersenggal, kedua kakinya juga terasa sangat sakit, tapi dirinya harus terus menghindari dari mamanya.
Sudah cukup 2 tahun kehidupan yang dilalui oleh Laras bagaikan neraka, saat ini yang dipikirkan oleh dirinya hanya ingin terbebas dari neraka itu. Terbebas dari segala ancaman dan juga hinaan dari mamanya sendiri. 2 tahun yang menyakitkan bagi Laras. Memang benar dirinya diberikan kehidupan yang bercekupan, tapi dia sangat menderita oleh sikap mamanya.
"LARAS!"
"LARAS!"
"LARAS!"
Sesekali menoleh kebelakan, Laras melihat mamanya masih kekeh berusaha untuk mengajar sambil terus berteriak memanggil namanya. Tidak ada yang bisa Laras lakukan saat ini selain terus berlari. Pikirannya sudah kalut, tidak bisa berpikir jernih lagi.
Satu jam seperti satu tahun, seolah bermain kucing-kucingan dengan temannya sendiri dimasa kecil. Namun, bedanya kini Laras lakukan dengan sang mama.
Berlari kearah persimpangan yang ternyata didepannya adalah jalan buntu membuat Laras semakin frustasi. Tidak ada jalan lain selain memanjat tembok didepannya daripada ia harus tertangkap lagi oleh mamanya.
Dengan susah payah Laras mengerahkan seluruh tenaga yang tersisa untuk memanjat hingga kini sudah berasa diatas tembok. Dari kejauhan Laras melihat mamanya masih mengikutinya, mengejar dirinya.
Kini matanya beradu dengan sang mama. Laras yang tak gentar menatap mamanya garang juga. Dirinya tak habis piker mamanya masih berniat untuk mengejarnya padahal tadi sudah tertinggal cukup jauh.
"Turun dari sana Laras Ghaisani!"
Seperti sebuah perlawanan yang, Laras hanya diam sembari menatap mamanya. Tidak ada yang Laras lakukan selain mengatur napas karena lelah setelah berlari cukup lama dan jauh.
Suasana mencekam pun sangat terasa. Salimg memberikan tatapan sengit satu sama lain seolah mereka benar-benar musuh padahal yang sebenarnya mereka adalah ibu dan anak. Selain karena gang buntu dan tidak ada akses lagi kearah manapun, gang ini juga sepi karena memang dihimpit oleh dua bangunan disamping kanan dan juga kirinya. Tidak ada aktivitas manusia sama sekali disini lantas membuat keadaan semakin dingin.
"Turun Laras!"
Laras menulikan pendengarannya dan tidak mengindahkan perintah dari mamanya.
"Dasar anak pembangkang! Sama saja seperti papamu yang sudah mati itu, tidak berguna!"
Tatapan Laras lantas berubah menjadi tajam kala mendengar kalimat pedas yang menyangkut tentang papanya. Dirinya tidak terima jika papanya diejek sekaligus dihina seperti itu.
"Mama boleh hina Laras, marahin atau apapun itu, tapi tolong jangan hina papa Laras! Mama gak berhak kayak gitu!"
"Gak berhak? Harusnya kamu sadar sama apa yang udah papa kamu perbuat Laras! Dia pergi gitu aja ninggalin kamu sama saya. Oh jangan lupa juga semua hutang dia saya yang harus bayar, padahal saya gak tau apa-apa."
Lagi-lagi Laras harus mendengar fakta yang menyakitkan tentang papanya. Fakta yang membuat perubahan besar dalam hidupnya termasuk kasih sayang mamanya yang kini sepertinya sudah tidak ada lagi. Mamanya yang dulu menyayanginya sekarang malah berbalik membenci dirinya. Laras sudah tidak lagi merasakan rasanya memiliki seorang ibu beberapa tahun kebelakang. Semuanya benar-benar berubah.
"Tapi dia tetap papanya Laras, Ma."
"Silakan kamu bela dia Laras, yang jelas saya tidak sudi lagi jika mengingat tentang dia!" Jeda Diani, dia menghela napas pelan sebelum akhirnya melanjutkan lagi ucapannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
SADELI [GSA] - (ON GOING)
Teen FictionGalih Sadeli Adiwangsa yang cuek, dingin dan irit bicara seketika menjadi sosok yang cerewet dan manja hanya karena seorang gadis bernama Laras Ghaisani. Laras sendiri adalah murid pindahan dari Jakarta. Tak banyak yang diketahui tentang Laras sela...