6. Harus Disudahi

490 116 19
                                    

Satu kebohongan akan menciptakan kebohongan lain yang lebih besar dan rumit. Mentari sadar apa yang ia katakan pada Edo dan Mike perlahan tapi pasti bisa menjadi bumerang yang berbalik menghajarnya. Namun, Mentari tidak bisa memaparkan kenyataan pada semua orang bahwa ayahnyalah yang menjadi dalang kehancuran hidupnya. Ia butuh waktu untuk melakukannya. Saat ini tak seorang pun mendukungnya. Ia seperti yatim piatu yang sedang berjuang sendirian menghadapi kerasnya hidup.

Dari ujung koridor, Mentari hanya bisa memandangi pintu kelasnya. Gertakan Edo dan kawan-kawan telah menciutkan nyalinya untuk melewati pintu berwarna cokelat itu.

"Kenapa lu enggak masuk?" Suara bening dan lembut yang familier di telinga Mentari secara otomatis memacu jantung wanita itu untuk berdegup lebih kencang.

Mentari tidak tahu apa yang harus ia lakukan atau ke mana ia harus menolehkan wajahnya. Ia sudah bisa menduga apa yang akan dilakukan pemilik suara itu selanjutnya. Semua teman-temannya sudah menghakimi, mungkin, tak terkecuali dengannya.

"Arya belum pernah datang ke kampus lagi sejak dia memutuskan pergi sama elu tempo hari." Penjelasan yang tenang dan jauh dari nada menghakimi memberi Mentari sedikit keleluasaan untuk menarik napas lebih dalam. Ia sudah salah menduga.

Mentari akhirnya berani menoleh dan menatap gadis berambut hitam yang diikat membentuk ekor kuda yang kini telah berdiri di sampingnya. Ia lantas memosisikan dirinya berdiri berhadapan dengan gadis itu. "Gue tahu, Sri."

"Jadi, elu tahu Arya—"

"Enggak," potong Mentari seolah ia tahu apa yang akan ditanyakan Sri.

Sri meraih tangan Mentari lalu menarik teman baiknya itu ke samping tangga, tempat yang cukup tenang dan sedikit bebas dari lalu lalang para mahasiswa.

"Arya ke mana?" tanya Sri dengan suara yang sengaja dipelankan.

Mentari menggeleng. Ia tidak punya alasan untuk berbohong kepada Sri, tetapi ia dihantui rasa takut yang besar. Mentari sudah kehilangan Arya dan ia tidak mau kehilangan semua orang yang ia sayangi. Meskipun ayahnya lebih layak disebut monster, namun hanya pria kejam itu yang Mentari punya.

"Kalian putus di tengah jalan? Kenapa?" Sri mengasumsikan sendiri alasan Mentari tidak datang bersama Arya.

"Enggak, Sri."

"Terus kenapa?"

Desakan Sri menimbulkan ketakutan yang lain bagi Mentari. Wanita itu cemas rasa percayanya kepada Sri akan membuka mulutnya sendiri untuk berterus terang.

"Sri, gue harus pergi." Akhirnya Mentari mengambil keputusan yang tidak pernah ia pikirkan sebelumnya. Bukan untuk menghindar, hanya untuk menjauh sementara waktu sambil memikirkan jalan keluar. Ia berharap bisa menemukan Arya sebelum pernikahannya dengan Rakhan dipublikasikan ke seantero jagad raya dan persoalan menghilangnya Arya menjadi polemik baru dalam hidupnya.

"Elu mau ke mana? Elu bisa cerita ke gue kalau ada apa-apa, Tari."

"Gue bakal cerita tapi tidak sekarang." Mentari celingukan memeriksa suasana di sekitarnya.

"Tari ...."

Mentari kembali memandang ke arah Sri. Keinginan yang sangat besar untuk bercerita pada Sri justru semakin meremas-remas hatinya. Ia percaya pada Sri, tapi ia tidak tidak memercayai orang-orang di sekitar gadis lugu itu.

"Gue janji akan cerita semuanya, Sri. Gue pergi ya." Mentari berbalik meninggalkan Sri. Ia bahkan tidak mengacuhkan panggilan Sri yang memenuhi koridor kampus.

Menahan rasa sakit yang menusuk-nusuk hati dan air mata yang terus memaksa untuk mengalir, Mentari mengendarai mobil keluar dari area kampus dan terus melaju tak tentu arah. Sampai akhirnya ia merasakan dadanya hampir meledak, Mentari menghentikan laju mobilnya di bahu jalan. Ia membiarkan semua kesedihan menyerang, menghantam, dan meruntuhkan pertahanannya. Ia meluapkan perasaan nyeri yang menggerogoti hati dan seluruh tubuhnya dengan menangis.

Mentari (tak) Ingkar JanjiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang