8. Rumah Sri

316 81 6
                                    

"Sebaiknya kamu pulang ke rumah suamimu sekarang, Tari." Lucian terang-terangan mengusir Mentari. Ia kemudian kembali ke kursinya.

Mentari mendesah kesal. Ia mengambil satu langkah lebih dekat ke meja Lucian. "Pa, katakan Arya ada di mana? Papa apa-in Arya?"

Alih-alih menjawab, Lucian justru berteriak memanggil Anton. "Anton!"

Tidak berapa lama Anton muncul di ruang kerja Lucian. Pria berpostur tinggi dan berbadan kekar yang menjadi kepercayaan Lucian sejak belasan tahun silam itu menunduk penuh hormat kepada sang pemimpin. "Apa yang bisa saya kerjakan, Tuan?"

"Bawa Mentari pulang ke rumah suaminya," perintah Lucian.

Mentari membelalak. Darahnya mendidih seketika mendengar titah Lucian pada Anton. Lucian benar-benar tidak peduli kepadanya, pikir Mentari.

"Pa!" protes Mentari, "Papa enggak bisa mengusir Tari begitu saja. Katakan pada Tari, Arya di mana?"

Sekali lagi Lucian tidak memedulikan pertanyaan putrinya. Ia kembali memberi perintah pada Anton hanya dengan anggukan. Anton memahami betul isyarat Lucian. Ia melangkah mundur lalu memosisikan dirinya berdiri di samping Mentari.

"Mari, Nona. Saya akan mengantar Nona pulang."

"Tidak perlu. Aku akan pulang sendiri." Mentari berbalik lalu keluar dari ruangan Lucian dengan langkah cepat dibarengi perasaan kesal.

Di dalam bus kota, di antara penumpang yang berdesak-desakan, Mentari terus memutar otak mencari cara untuk menemukan keberadaan Arya. Ia merasa sangat bersalah kepada pria itu. Ia yang menjadi penyebab Arya menghilang. Sempat terlintas dalam benaknya jika Arya telah tiada, tetapi ia lebih memilih memercayai intuisinya bahwa Arya masih hidup tapi entah berada di mana.

"Tadi pagi aye lihat berita di TV ada penemuan mayat dalam karung di pinggir sungai. Eh, pas aye nengokin grup WA, tuh berita jadi bahan obrolan juga di sana."

"Iya, bener, Mpok. Di grup WA aye juga rame berita itu. kejam banget deh tuh pelakunya. Udah digebukin, dibunuh, dimutilasi, terus dimasukin ke dalam karung dan dibuang gitu aja. Sakit jiwa kali ya pelakunya?"

Obrolan dua wanita paruh baya yang duduk di bangku di samping tempat Mentari berdiri menyeretnya ke dalam rasa ingin tahu yang cukup besar. Mentari pura-pura tidak acuh, tapi ia tetap memasang telinga untuk mendengarkan sedetail mungkin percakapan mereka. Seandainya Mentari punya kesempatan untuk menjelajah internet dan mencari berita di sana, ia tidak akan seputus asa seperti sekarang. Sialnya, saat ini Mentari bahkan tidak mempunyai ponsel dan uang lebih. Ponselnya menghilang bersama Arya di hari nahas itu. Ia pun menyesal tidak membawa kartu debit dan kredit yang diberikan Lucian sebelum Rakhan membawanya ke rumah keluarga Mahawira karena terlanjur kesal.

Sri. Ide itu tiba-tiba tercetus. Mentari segera turun dari bus dan naik ke bus lain dengan jurusan berbeda. Ia harap Sri berada di rumah dan mau menerima kedatangannya. Sikap kasarnya pada Sri kemarin siang sempat membuat Mentari ragu, tetapi ia tidak punya siapa pun lagi untuk dimintai bantuan.

***

Sri membelalak. Ia nyaris tidak memercayai apa yang baru saja ia dengar. "Ya Tuhan. Jadi, bokap lu maksa elu untuk nikah?"

"Iya, Sri." Mentari bersyukur di dalam hati Sri masih mau menerima kedatangannya dengan sangat baik dan dengan tangan terbuka. Meskipun begitu, Mentari tetap menyimpan kisah tentang Arya dan hanya menceritakan sebagian kisah sedih hidupnya pada Sri.

"Elu dan Arya putus karena itu?" duga Sri dengan percaya diri.

Mentari berpura-pura mengangguk mengiakan walaupun rasa bersalah menusuk-nusuk hatinya saat ia melakukan itu. Udara di ruang tamu rumah Sri yang cukup luas mendadak jadi terasa pengap. Mentari harus menghela napas dalam-dalam untuk mengendalikan laju oksigen yang mengaliri paru-parunya.

"Gue mau minta bantuan elu, Sri," tutur Mentari dengan suara pelan, tetapi sarat dengan harapan.

Sri bangkit berdiri dan berpindah posisi duduk ke samping Mentari. Tangannya ia sampirkan ke pundak sahabatnya lalu berkata, "Elu jangan sungkan, Tari. Gue akan bantu lu dengan senang hati."

"Terima kasih, Sri." Mentari mengembus napas lega. Ia kemudian meminjam ponsel Sri untuk sekadar mencari berita tentang peristiwa yang diceritakan kedua wanita di dalam bus kota tadi dan berita sejenis lainnya. Mentari kembali bernapas lega setelah mengetahui bahwa korban sudah diketahui identitasnya dan korban dalam berita lainnya tidak memiliki ciri-ciri fisik yang mirip dengan Arya. Keyakinannya kalau Arya masih hidup sangatlah besar.

Sri mengamati layar ponselnya yang menampilkan berita-berita kriminal. Ia mengernyit tidak mengerti. "Ngapain sih elu nyari berita begituan?"

"Gue khawatir sama Arya. Sejak hari itu, gue juga enggak ketemu sama dia lagi sampai gue nikah sama si ...." Mentari menggantung ucapannya. Nama Rakhan terasa sangat berat untuk diucapkan olehnya. Mengingat kejadian semalam, Mentari tiba-tiba saja ingin mengharamkan nama itu keluar dari bibirnya. Mentari meletakkan ponsel Sri di atas meja lalu menangkup wajah. Sengatan kemarahan bercampur sedih menerjangnya kembali. Tidak ia sadari, air matanya kembali mengalir dan ia terisak-isak.

Berusaha memahami derita Mentari, Sri memeluk wanita itu untuk menenangkannya. "Arya cowok yang baik. Gue percaya di mana pun dia berada, dia pasti akan baik-baik saja."

"Elu tahu di mana rumah orangtua Arya?" Mentari mengurai pelukannya dari Sri lalu menyapu sisa air mata dengan punggung tangannya.

Sri menggeleng kemudian menatap Mentari sesaat. "Gue enggak tahu, tapi mungkin Edo tahu. Dia kan sekampung sama Arya."

Mentari mengembus napas. Akan sangat sulit berbicara dengan Edo. Edo terang-terangan sudah menegaskan sikap tidak sukanya kepada Mentari. Mentari lalu menunduk pasrah. Air matanya lolos mengalir lagi.

"Nanti gue tanya-in sama Edo. Elu tenang aja ya dan tunggu kabar dari gue." Sri mengerti betul apa yang dirasakan Mentari. Ia tulus ingin membantu Mentari.

"Gue kan enggak pegang HP. Nanti gue aja yang datang ke sini."

"Oke deh. Ngomong-ngomong, elu mau apa ke rumah orangtuanya Arya?"

Mentari menggeleng. "Gue enggak tahu. Mungkin gue mau minta maaf sama mereka karena gue anak mereka ...." Napas Mentari tiba-tiba tersekat di tenggorokan dan rasa panas kembali menyengat matanya dan menciptakan genangan baru di matanya.

"Hei, kok nangis lagi sih?" Sri membelai lembut punggung Mentari. "Elu enggak salah apa-apa, Tari. Arya mungkin sedang pergi melepas kekecewaannya karena elu nikah sama orang lain."

Gue yang salah. Mentari tak sanggup membendung aliran air mata. Ia sudah berbohong kepada semua orang. Perasaan bersalah terus menghukumnya tanpa ampun.

"Kalau elu mau ke rumah orangtua Arya, nanti gue temenin elu," lanjut Sri berusaha menenangkan.

"Gue berutang banyak sama elu, Sri."

"Elu ngomong apaan sih, temen ya harus saling bantu."

Mentari tersenyum bangga. Ia merasa beruntung masih mempunyai sahabat seperti Sri. Siang itu Mentari meghabiskan waktu di rumah Sri. Bersama Sri, Mentari merasakan kebebasannya yang terenggut oleh pernikahan paksa. Ia tidak ingin kembali lagi ke rumah keluarga Mahawira, tetapi ia hanya akan menyulitkan Sri dan keluarganya jika ia tidak pulang. Dengan sangat terpaksa, Mentari akhirnya pulang.

=====

Alice Gio

Mentari (tak) Ingkar JanjiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang