1. Akhir Kebahagiaan

1.4K 190 26
                                    

Beberapa bab dari cerita ini pernah di-publish di platform sebelah, tapi Author putuskan akan menamatkannya di sini. Judul awal cerita ini adalah Putri Sang Preman. Bagi yang sudah membaca bab awalnya, bisa lanjut di sini. 

=====

"Untuk yang terakhir kalinya aku bertanya, apakah kau siap menjalani sisa hidupmu denganku?" Arya menyelipkan rambut cokelat yang terurai di samping wajah Mentari ke belakang telinga gadis itu.

"Kita sudah sejauh ini, Arya. Aku tidak akan pernah mau kembali ke si penguasa gila itu," tandas Mentari. Tatapan secokelat kopinya mengunci tatapan gelap Arya.

Kecupan lembut mendarat di pipi Mentari. Dengan perasaan bangga, Arya memeluk erat Mentari. Gadis berusia 23 tahun itu telah memberinya kekuatan lebih untuk melakukan hal paling gila dalam hidupnya yang tidak hanya sekadar menunjukkan cinta, tapi juga nyali yang cukup besar. Atmosfer kamar penginapan murahan yang pengap dan sedikit berbau apek tak mengurangi keromantisan pasangan muda yang sedang di mabuk cinta itu. Perjalanan asmara mereka yang panjang dan tidak mudah membuat mereka saling menguatkan satu dengan yang lainnya.

Arya mengenakan tas ranselnya yang berisi dua setel pakaian dan beberapa barang pribadinya, begitupun dengan Mentari. Gadis itu hanya membawa pakaian secukupnya. Rencana mereka hari itu mereka akan melanjutkan perjalanan ke Bandar Lampung. Mentari mengikat rambutnya membentuk ekor kuda lalu menggulungnya membentuk gelungan dan menutupinya dengan topi. Rambut cokelat dan kulit seputih pualamnya terlalu mencolok dan akan membuat orang-orang mengenalinya dengan mudah sebagai putri salah satu preman terkuat dan paling berbahaya di Jakarta, Lucian Sagara.

"Sudah siap, Cantik?" Arya mencolek ujung hidung mancung Mentari.

"Iya. Ayo kita pergi!" Mentari menarik kedua ujung bibirnya ke atas membentuk senyuman manis.

Arya meraih tangan Mentari, mengaitkan jemarinya ke jemari gadis itu. "Aku mencintaimu, Mentari."

"Aku juga."

Dengan langkah percaya diri, Mentari dan Arya berjalan ke luar dari penginapan. Di gang sempit, di antara rumah-rumah sederhana, mereka menyusuri jalanan kampung nelayan di sebelah timur pelabuhan Tanjung Priok menuju jalan utama yang tinggal beberapa meter lagi. Sengatan matahari di musim panas tak menyurutkan semangat sejoli itu untuk mencari kebebasan saling mencintai.

"Mentari, maafkan aku sudah membuatmu kepanasan seperti ini," sesal Arya sambil mengeratkan genggamannya di tangan Mentari.

"Kau tahu aku tidak semanja itu, Arya. Aku yang menginginkan semua ini."

"Beberapa hari ini aku sudah menyengsarakanmu. Kita hanya makan nasi dengan lauk seadanya dan tidur di tempat yang jauh dari kata nyaman. Jika kau berniat untuk pulang ke rumah ayahmu—"

"Apakah kau sudah menyerah?" potong Mentari dengan nada kesal.

Arya menghentikan langkahnya. Ia memosisikan tubuhnya menghadap Mentari. Tatapan cemasnya menjelajahi wajah Mentari. "Aku hanya anak seorang petani, Mentari. Kemungkinan besar aku tidak mampu memberimu kebahagiaan."

"Jika yang kau maksud kebahagiaan adalah tempat tinggal mewah dan harta berlimpah, aku tahu kau tidak akan bisa memberikannya padaku." Mentari mengunci iris cokelatnya pada Arya. "Kau masih meragukan keputusanku?"

Arya menarik pelan tangan Mentari. Pria berambut gelap dan bertubuh tinggi itu merengkuh Mentari ke dalam pelukannya. "Aku tidak pernah meragukanmu, Mentari."

"Jangan tanyakan hal itu lagi, Arya. Aku ingin bersamamu selamanya."

Decit suara rem Land Rover hitam yang diikuti oleh mobil lainnya mengejutkan Mentari dan Arya. Mereka terpaksa mengurai pelukan, kemudian menatap mobil yang hanya terlihat bagian depannya itu dengan perasaan was-was. Sebuah van hitam tampak menghalangi ujung gang yang sedang mereka lalui. Hanya dalam hitungan detik, tiga pria bersetelan kaus hitam dan kacamata hitam keluar dari mobil tersebut. Mereka mendekat dan berdiri di hadapan Mentari dan Arya dengan gaya arogan, gaya khas orang-orang kepercayaan ayah Mentari.

Mentari (tak) Ingkar JanjiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang