Tak ada salahnya melihat sesuatu dari kejauhan. Toh, ia masih terlihat indah. Misalnya saja menikmati bintang-bintang yang memancarkan kerlip cahayanya begitu anggun di langit ibukota. Posisi berbaring dengan satu tangan sebagai bantalan, menjadi paduan paling cocok. Sesekali merasakan angin yang berbisik lembut, "Nggak papa, segala resah dan sedihmu akan kusimpan rapat."
Alam mungkin tak dapat memberikan solusi. Akan tetapi, ia tahu bagaimana menghibur jiwa yang sepi. Tak ada penghakiman, tak ada pakem benar dan salah. Cukup dengan rasakan, maka ia ada untuk mendengar seluruh keresahanmu. Tak perlu takut, sebab alam tak pernah berubah. Ia selalu menjadi dirinya sendiri.
"Kelana, kamu di mana, sih?" Suara itu pada akhirnya berhasil mengambil seluruh atensiku. Kutolehkan kepala hanya untuk melihat iphone yang tergeletak begitu saja di rerumputan, menampilkan lama waktu kami bertelpon.
1 jam 20 menit.
Oh Tuhan, manusia macam apa yang masih bertahan?
Aku terbuai dalam suasana malam. Bau rerumputan yang tertiup angin, suasana tenang disertai hamparan langit cerah—setelah beberapa hari dipeluk mendung, sampai aku lupa sedang bertelpon.
"Sorry, kamu bicara apa saja tadi?" tanyaku masih tak ingin beranjak atau mengubah posisiku merebahkan diri.
Terdengar helaan napas kasar dari sebrang telpon. Menandakan kalau suasana hati lawan bicaraku sedang tidak baik.
"Kamu di mana, sih?" Benar saja, dia mengatakannya dengan nada ketus. Tak berniat untuk menyembunyikan kekesalannya.
Tapi alih-alih merasa bersalah, aku justru terkekeh, yang kemudian hening beberapa saat. Menimbang-nimbang haruskah kuberitahu tempat rahasiaku padanya?
"Surga dunia." Yang dijawab dengan umpatan kasar. Lantas bertanya dengan nada penasaran yang kentara. "Who's your partner?"
"Bukan itu maksudku, bodoh!"
"Lalu?"
"Emm, kalau jaman sekarang lebih familiar ... sebut saja tempat healing."
Dia tergelak seperti aku baru saja memberikan lawakan paling lucu yang pernah dia didengar.
"Apa yang buat seorang Kelana stress? Please, Lan, jangan bunuh diri, nanti aku curhat sama siapa lagi?" katanya sungguh terdengar menyebalkan.
Memangnya aku robot yang tak punya emosi? Mesin saja bisa eror, apalagi aku? Seonggok daging yang diberi jantung untuk berdetak, emosi agar lebih terlihat manusiawi, serta akal yang sesekali digunakan untuk berpikir.
"Kututup, ya ...!" ancamku kepadanya. Bibirku tak bisa menahan senyum kala mendengar dia begitu panik.
"Oke, oke, aku minta maaf. Kutraktif mie ayam depan toko Bulan, mau?"
Wow, penawaran yang menggiurkan!
"I'm on my way." Segera aku bangkit. Mataku membulat sempurna melihat kekacauan di sekitarku.
"Oh my goodness!" Buku kecil bersampul menara eifel, MacBook dengan sticker menara eifel tertempel manis di sudut kanan atas, bolpoin dan tipex, sudah menyebar tak keruan. Aku menggaruk kepalaku yang sejatinya tak gatal sembari berpikir kapan aku mengeluarkan semua ini?
Berikutnya terdengar tawa Aksara, yang sepertinya sudah dapat menebak apa yang terjadi padaku. "Kamu tadi abis jalan-jalan ke planet mana lagi, Lan?"
"Diam!"
"Hahaha."
Dia, Aksara Praja Mahameru— teman yang telah menemaniku dua belas tahun lamanya—tertawa terbahak-bahak seolah aku baru saja melakukan lawak terlucu yang pernah dia dengar.
KAMU SEDANG MEMBACA
DEAR, AKSARA
Romansa"Keinginanku sederhana. Menghabiskan waktu bersama Aksara sampai maut memisahkan. Aksara sudah seperti peta kehidupanku. Ke mana Aksara pergi, aku akan mengikuti tanpa ragu. Apapun pilihan Aksara, akan selalu jadi keputusanku." "Kalau kamu memberika...