16. Masuk Akal

1.9K 192 0
                                    

.
.

Sebuah brankar dengan gerakan cepat melaju setelah ambulans berhenti tepat di depan lorong menuju ruang UGD. Para orang medis yang tadinya sudah bersedia menunggu ambulans datang, kini ikut menggeret brankar tersebut. Diatasnya terdapat tubuh bongsor yang kini malah terlihat sangat pucat dan kurus. Pendarahan yang sudah dihentikan dahulu di tempat kejadian, membuat dokter kini hanya perlu berusaha menjaga detak jantung yang semakin melemah degupannya.

Dokter lelaki itu duduk diatas brankar, dengan lutut yang menopang disamping kedua sisi tubuh Jias. Tangannya menekan keras bagian dada Jias, jantung nya lemah akibat banyaknya pendarahan dikepala.

Dipinggir brankar, ada Fara yang juga ikut berlari. Dengan menangis kacau dan mulut yang berucap tak jelas. Jiwanya terasa setengah sadar dan setengahnya lagi masih belum mau menerima situasi saat ini.

Tak lama, mereka sampai diruang yang dituju. Brankar langsung dimasukan, tanpa Fara yang sudah dihalau oleh salah satu perawat. "Maaf ibu, ibu bisa tunggu diluar. Setelah kami selesai, kami akan segera memberitahu ibu."

Perawat muda itu pun pergi, kembali memasuki ruangan tertutup tersebut. Sedetik setelahnya, lampu di atas pintu ruangan tersebut menyala. On air.

Sama, sedetik setelah perawat itu pergi, Fara ambruk. Bersimpuh dengan mata yang lagi-lagi hanya mampu menangis. Dan mulut yang lagi-lagi berucap tak jelas apa yang ingin diucapkan. Isakan yang menyayat hati pendengarnya, menyeruak dilorong sepi ini. Lorong yang hanya mengarah menuju ruang UGD.

Fara menunduk. Memukul kepalanya beberapa kali dengan keras. Merutuki kebodohannya selama ini. Tentang kenapa sudah bertahun-tahun lamanya, ia masih belum sembuh dari penyakit mentalnya tersebut. Penyakit yang membuatnya dengan Jias berada dalam hubungan yang jauh.

Fara tidak mengerti dirinya, wajah Jias yang sangat mirip dengan mendiang sahabatnya, harusnya mengobati rasa rindunya pada sahabat kesayangannya itu. Bukan malah membuatnya menumbuhkan rasa benci pada lelaki itu. Rasa yang sama sekali tak mau Fara tanamkan dihatinya kala setiap melihat Jias tersenyum lebar. Senyuman yang bahkan masih Fara anggap menjadi senyuman paling manis didunia.

"Fara!" Panggilan tersebut tak mampu membuat Fara berhenti memukul kapalanya. Karena pikirannya melayang entah kemana. Tergambar dari mulutnya yang sudah berucap tak jelas. Yang tandanya, Fara sudah tak mampu berpikir dengan jernih.

Andra semakin mempercepat langkah larinya. Kemudian juga bersimpuh disamping Fara. Dan memeluk wanitanya yang rapuh itu. Menahan tangannya agar tak lagi menyakiti dirinya sendiri.

Dibelakang, ada Jevan dan Naven. Yang sedari tadi belum bicara sama sekali. Mereka hanya mampu melihat pemandangan dimana kedua orang yang selama ini menjadi orang paling kuat, kini terlihat lemah dan saling menguatkan lewat pelukan hangat.

Apakah ini yang menjadi puncak dimana kesedihan akan mengunjungi hidup mereka dengan kepiluannya yang menyakitkan?

.
.

Dua saudara kembar tersebut kini saling diam dengan tangan yang sibuk mengaduk minuman. Yang sempat Andra suruh untuk dibawakan sebagai penenang untuk Fara. Kini mereka ada di kantin rumah sakit besar yang mereka taruh harapan yang juga besar.

"Gue harap, dokter bisa bikin Jias bahagia lagi. Untuk sekarang, gue cuma liat Jias sama penderitaannya." Jevan akhirnya bersuara, tanpa menoleh pada Naven yang juga masih menyiapkan minuman.

"Kalo gue, dari dulu gak pernah liat Jias bahagia bener-bener. Walau dia bilang dia bahagia. Karena Bahagianya, cuma ada di satu orang. Dan orangnya, udah gak mungkin kasih apa yang dia mau itu." Naven membalas, membuat Jevan menoleh kesamping, ke arahnya.

"Maksud lo?" Tanya Jevan.

Naven mengeluarkan sesuatu dari saku celananya. Memberinya pada Jevan yang tentu saja semua kebingungannya akan terjawab seketika.

"Ini.." Jevan tak mampu lagi untuk berkata. Foto yang disodorkan Naven padanya, membuatnya terkejut karena ini terlalu tiba-tiba. Foto seorang wanita dengan gaun biru langit, dan perutnya yang samar-samar nampak menggelembung.

"Nasya. Lo pasti pernah denger nama itu dari mulut Bunda seenggaknya sekali dalam hidup lo. Bahkan sebelum Ayah cerita tentang masa lalu Ayah sama Bunda." Ujar Naven.

"Jias tahu?" Tanya Jevan dengan tenggorokannya yang tiba-tiba terasa kering. Jantungnya pula tiba-tiba berdetak lebih cepat kala otaknya sudah mencerna apa maksud dari ucapan Naven.

Naven menggeleng. "Kayaknya enggak."

Naven melanjutkan ucapannya dengan pertanyaan. "Tentang terakhir kali Bunda marah tanpa alasan sama Jias, lo inget?"

"Ayah nutup mulut Bunda, karena Bunda sempet bilang kalo Jias bukan anaknya. Ayah suruh kita bawa Jias jauh sama Bunda, karena takut Jias tahu kebenarannya. Terus, selama ini Bunda gak mau akrab sama Jias, karena Aji bukan anaknya." Jawab Jevan, setelah sempat bergeming untuk berpikir.

"Terus, apa alesan Ayah adopsi Jias kalo Bunda aja gak suka ada Jias? Harusnya gak usah mulai, kalo emang gak cocok dari awal." Jevan pun mulai tenggelam dalam topik.

"Gue juga belum ngerti pasti, tapi kalo gue inget cerita Ayah, Nasya itu sempat hamil karena Ayah." Ucapan yang sangat kentara maksudnya itu membuat Jevan menoleh ke sekitar.

"Bunda benci sama Jias karena Jias kesalahan Ayah sama sahabatnya? Bukannya berartu disini yang salah itu sahabatnya Bunda?" Tanya Jevan.

"Kalo itu salah mendiang Nasya, terus kenapa dia milih buat sembunyiin kalo dia punya Jias? Yang jelas-jelas harusnya ditanggung jawabkan sama Ayah." Balas Naven, pikirannya menalar pada malam dimana Andra membuka tentang dirinya.

"Jias dipertanggung jawabkan sama Ayah karena mendiang Nasya udah pergi?"

"Justru yang gak gue ngerti, kenapa Bunda gak mau nerima Jias, padahal udah bertahun-tahun hidup bareng. Gak pernah gue sekali pun ngeliat Bunda nyentuh Jias." Naven membalas.

"Kuncinya cuma ada di Bunda." Jevan membalas tepat pada sasarannya.

Naven mengangguk. "Iya, dan semuanya hampir masuk akal sekarang." Balas Naven. Membuat Jevan bergeming masih dengan pikiran yang masih bergelut dengan semua fakta yang baru terungkap dengan tiba-tiba ini.

"Lo udah selesai 'kan? Ayo, kasian Bunda nungguin." Naven membawa dua gelas ditangannya. Mengajak Jevan untuk beranjak.

Jevan pun mengangguk. Kemudian menaruh foto tersebut disaku jaketnya. Dan berjalan menyusul Naven yang sudah berjalan duluan.

Dalam perjalanan, Naven berucap pelan sebelum sampai pada Andra dan Fara yang masih diselimuti rasa khawatir serta rasa pilu.

"Jangan kasih tahu Jias tentang ini, sebelum Ayah sama Bunda yang kasih tau sendiri. Gue yakin mereka punya alesan nutup semuanya dari Jias."

Malam ini, rumah sakit menjadi saksi. Bahwa keluarga kecil ini, memiliki banyak hal yang disembunyikan setiap masing-masing orangnya. Dan tolong, jangan hancurkan harapan besar mereka pada rumah sakit yang juga besar ini. Untuk kali ini, mereka kompak mendoakan kebahagiaan untuk anggotanya yang paling muda, Jias.

.
.

Semesta SementaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang