25. Jias Dan Janjinya

1.8K 161 2
                                    

.
.

Pagi menyapa, pagi yang paling ditunggu-tunggu. Dengan sorot sinar matahari yang lebih terang dari pagi biasanya. Serta kicauan burung beterbangan bak menari di gendang telinga. Membangkitkan suasana gembira bagi keluarga kecil yang tengah menikmati karunia Tuhan ini.

Hampir setengahnya berjalan normal. Andra pamit sebentar untuk mengurus tentang pekerjaannya yang selama ini ia atur hanya via ponsel. Yang tentu saja tak tercambah dan menyelesaikan semua hal di kantornya. Katanya karena ini menjadi hari paling bahagia baginya, Andra janji akan pulang siang ini. Yang biasanya sering melembur.

Sedangkan si kembar, akhirnya dapat makan dengan lahap di warung tegal depan rumah sakit. Selama ini pikiran keduanya hanya tertuju pada si bungsu, hingga tak jarang lupa merawat diri. Bahkan keduanya pernah tak makan seharian, saat dimana kabar buruk itu terdengar. Saat Jias dinyatakan koma oleh Ardan.

Semburat cahaya dari jendela menyilaukan manik yang kini berusaha terbuka lebar, walau sebenarnya masih terasa lesu. Hingga sebuah bayang tangan memutus sorot cahaya matahari pagi itu. Jias hanya tersenyum menanggapinya. "Gak usah, tangan Bunda nanti pegel."

Lantas Fara bangkit dari duduknya, kemudian menutup gorden jendela tersebut setengah. Agar ruangan terasa suasana paginya. "Makasih bunda," Jias tersenyum, kini matanya dapat melihat wajah sang Bunda dengan jelas.

Setelah kembali mendaratkan bokongnya, Fara meraih tangan Jias. Mengelusnya lembut seraya berucap, "Matanya gak boleh tertutup lagi, ya?" Jias terdiam, karena memang tidak tahu harus bereaksi apa.

"Bunda takut," Fara menjeda. "Bunda takut kalau kamu menutup mata dalam waktu yang lama. Bunda gak tenang, rasanya ada yang mengganjal, Ji.."

"Sakit Jias parah ya, Bunda?" Pertanyaan yang terlontar itu bagai belati yang menghujam hati Fara.

Wanita itu mengeratkan genggamannya. "Jias ingat 'kan pernah janji sama Bunda, buat bangun lagi, dan itu bukan semata untuk saat itu aja. Yang Bunda maksud, Jias janji sama Bunda apapun yang terjadi, Jias harus bangun lalu temui Bunda lagi."

"Jias, kamu itu ibarat prajurit, nak. Yang Bunda sediakan segala alat perangnya, yang Bunda arahkan segala sesuatu yang harus kamu lakukan. Semua itu, Bunda lakukan yang terbaik dari yang paling baik, itu untuk kamu, Jias. Bunda akan sediakan segala alat perang apapun, atau bahkan Bunda juga akan mengarahkan apapun yang terbaik untuk kamu lakukan nanti."

"Kenapa harus Jias yang jadi prajurit, Bun? Sedangkan Jias belum dapat pilihan Jias. Bahkan Jias belum memutuskan itu,"

Fara mengelus kening Jias dengan jempolnya, dengan air mata setia menerjuni pipinya. Harus menjawab pertanyaan itu sakit rasanya. "Itu, Jias. Itu dia masalahnya. Kamu gak punya pilihan buat memutuskan yang memang dari awal tidak ada pilihannya. Kenapa harus Jias?" Fara menjeda seraya mengetuk pelan kening Jias dengan telunjuknya. "Karena musuh kita ada disini, Jias.."

Jias merengutkan alisnya, bertanya. "Dalam imajinasi?"

Nampak Fara terkekeh hambar. "Kalau memang sekadar imajinasi, Bunda akan sangat bersyukur, Ji. Karena hal yang paling Bunda takutkan hanya ada dalam imajinasi,"

"Tapi hal yang kita bicarakan, lain lagi, Jias. Lebih dari yang kamu pikirkan, sampai jika dipikir, Bunda saja gak sanggup jika jadi kamu. Tapi Bunda tau, bahkan Bunda sangat tau jelas. Kamu itu, kuat. Makanya Tuhan jadikan kamu sebagai prajuritnya. Seberat apapun musuhnya, kamu pasti bisa memenangi peperangannya." Lanjutnya.

Mendengar itu, Jias justru memalingkan maniknya ke lain arah. "Seyakin itu Bunda meyakini Jias itu kuat? Gimana kalau justru sebaliknya?"

Saking pelannya mungkin dua potong pertanyaan Jias itu nyaris tak terdengar. "Jias, kamu sudah melewati sebanyak tiga kali peperangan. Yang kemarin yang ketiga, yang kedua itu waktu kamu turnamen. Kalau yang pertama, duluuu sekali, saat tanpa sadar Bunda bawa akar masalahnya pertama kali ke dalam hidup kamu. Kamu sudah menang perang sejak kamu kecil, Ji. Bagaimana Bunda gak yakin, lagi, sayang?"

"Kamu tahu? Rasa takut mana mungkin hilang dari benak Bunda? Yang tau jelas putranya sedang berperang. Bunda hanya bisa yakin sama kamu, sama janji yang kamu janjikan ke Bunda saat itu. Kamu akan bangun, apapun yang terjadi." Fara menjeda, mengambil nafas saja berat rasanya untuk melanjutkan kalimatnya. "Tapi rasa takut kehilangan itu lebih besar dari rasa yakin Bunda sama janji kamu. Apalagi saat itu kamu cuma ngangguk. Sekarang, janji beneran ya? Buat Bunda kamu ini yakin sama kamu, hal apapun yang nanti membuat kamu lagi-lagi harus berperang, kamu akan bangun sebagai pemenang, temui Bunda-mu ini, ya?"

"Bunda tahu? Gak semua janji bisa ditepati, bunda.. Terlebih, itu hanya janji yang dibuat kala rasa takut sepenuhnya menguasai kesadaran."

Melihat Jias yang tak merespon, Fara kembali terisak. "Tolong yakinin Bunda, Jias.."

"Jias janji, Bunda. Jias akan bangun, temui Bunda sambil berteriak kalau Jias mengalahkannya telak. Kalau perlu, Jias bawa bendera kemenangannya. Jangan nangis lagi ya, Bunda.. Jias gak suka,"

Fara mengangguk mengerti, kemudian segera memeluk tubuh lemah putranya itu. Berharap bisa memberi separuh dari energinya.

"Separah itu ya, ternyata." Jias mengeratkan pelukannya pada Fara. Satu hal yang paling Jias inginkan, kini terwujud. Kasih sayang seorang ibu telah ia dapatkan. Sepenuh hati, Jias sangat senang. Seluas langit pun, tak mampu menghitung puasnya Jias saat setiap kali mendapatkan hal yang seharusnya wajar dilakukan itu.

Berarti, semua banyaknya piagam serta piala yang ia raih selama ini, mendapat akhir yang sia-sia rupanya. Kenapa tak sejak dulu saja musuhnya ini muncul? Agar ia tak perlu melihat sisi buruk Bundanya dan sulitnya ia ketika berkali-kali menanamkan dipikirannya bahwa, Fara itu baik.

.
.

Selepas makan siang, yang dilaksanakan pertama kali lagi sejak peristiwa itu, kelima insan ini asyik bercerita. Tak ada satu hal pun yang tak ditertawakan. Tentang dunia perkuliahan Naven yang sulit sekali rasanya untuk dijalani, sebab si kunyuk Jevan yang selalu berulah. Entah itu tentang pacar A yang bertengkar dengan Pacar B karena memperebutkan gelar Pacar resmi bagi Jevan. Yang selalu Jevan cari alibinya, karena ia yakin seratus persen bahwa sampai detik ini ia sudah tobat.

Atau tentang Jias dengan celananya yang pernah robek ditengah lapangan turnamen. Yang untungnya Jevan mau ia jadikan abang g*send agar mengantarkan celana gantinya secepat mungkin. Kemudian pulangnya langsung mendapat omelan dari Naven. Sebab celana itu baru saja ia jahit untuk yang kelima kalinya. Memang sepertinya benar apa kata Jevan, "ganas tuh burungnya si Jias."

Tak ada hal somplak lainnya yang terlewat untuk diceritakan. Semuanya terdengar lucu kecuali jika Jevan yang ikut-ikutan melawak. Sempat juga terjadi perdebatan. Hanya perbedaan pendapat seperti biasa. Tentang Jias yang keukeuh ingin mengundang beberapa teman basketnya termasuk Fideel, serta Bunda yang merasa masih ingin menghabiskan waktu menciptakan momen dengan keluarganya disaat sedang bahagia seperti ini.

Berakhir dengan Fara yang mengalah, sebab Andra yang condong setuju dengan Jias. Mengerti jelas rindunya Jias pada teman-temannya, juga rasa bersalahnya karena sejak turnamen yang ia kacaukan, justru Jias yang tak nampak batang hidungnya. Ngomong-ngomong, Andra juga tak lupa membelikan Jias buku dan Pensil seperti apa yang lelaki itu minta pagi tadi sebelum ia berangkat kerja.

Ditemani hangatnya teh manis serta camilan kue yang dibawa Andra seraya pulang tadi, suasana keluarga yang tak pernah ada, justru tercipta ditempat yang tak terduga, seperti rumah sakit ini. Sepertinya ini akan menjadi kenangan besar bagi setiap insannya. Semoga saja kedepannya akan banyak momen bahagia yang terekam dimemori Jias seperti ini.

.
.

Semesta SementaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang