2. Padahal Bunda

3.2K 305 8
                                    

.
.

Tinit.. tinit..

Bunyi alarm yang tak terlalu berisik tersebut cukup untuk membangunkan Jias dari lelapnya. Sedikit sulit membuka kelopaknya karena sinar matahari yang masuk dari celah gordennya. Karena ranjangnya bersebelahan langsung dengan jendela yang berukuran cukup besar. Memang, kamar sisa. Angle nya tak bagus.

"Eh!" Jias sedikit terkejut ketika ia duduk, sesuatu jatuh kepangkuannya.

"Hadehh, Bang Nana.. pasti gak tidur lagi malam ini." Cibir Jias ketika melihat baskom serta keadaan handuk yang sedikit basah.

Jias menggeleng ketika menyadari alarmnya bunyi dijam 6 pagi. Padahal Jias terbiasa menyetelnya jam 4 pagi. Tapi tak apa, berkat Naven, Jias bangun dengan tubuh segar pagi ini.

"Eunghh!" Jias meregangkan tubuhnya. Merasa lebih baikan. Baiklah, saatnya memulai hari. Jias menyeka selimutnya, berjalan menuju toilet.

Sedangkan dibawah, pagi hari dimulai dengan Jevan yang tak sengaja memecahkan gelas. Dan Naven hanya bisa menatap datar wajah Jevan yang tersenyum berlagak seolah tak punya salah. Naven kemudian mematikan kompornya dan membersihkan ulah lelaki tersebut.

"Bunda Mana, Na? Kok lo yang masak?" Tanya Jevan. Ia sibuk mencomot satu persatu masakan Naven dimeja makan. Disuruh Naven untuk diam saja daripada yang niatnya membantu malah jadi menyusahkan Naven.

Naven yang sibuk dengan peralatan masaknya menyempatkan untuk menjawab. "Gak tau. Tadi gue liat masih tidur. Kayaknya bakal bangun telat."

"Kenapa? Streaming drakor?"

"Gila lo! Karena kerjaan kali."

Jevan tertawa. "Ya siapa tahu. Malem kemarin 'kan si Bunda malah gak nonton. Betina emang, dia yang milih nonton live streaming ehh dianya yang gak mau nonton." Jevan menggeleng.

Naven membalikkan tubuhnya. Memasang wajah datar menatap Jevan. Hanya diam, membuat Jevan bertanya sembari menahan tawanya. "Napa?"

"Gimana sih lo? Lo gak inget? Kemaren aja Bunda ngeluh karena kerjaan nya banyak banget. Gimana mau nyempetin nonton? Gila lo ya."

"Iya-iya Astagfirullah.. itu masakan lo gosong ntar."

Lantas Naven kembali kembali dengan pekerjaannya. Mengabaikan Jevan yang cekikikan. Naven ini memang setengah jiwanya ada jiwa cewek. Warna kesukaannya saja warna merah muda.

"Tau, tuh. Si bang Jepan." Celetuk Jias yang masih dalam perjalanan menyambangi dapur, tanpa tahu apa yang tengah didebatkan kedua abangnya itu.

Jevan dan Naven menoleh. Naven kembali pada masakannya, sedangkan Jevan menghampiri Aji untuk menyambut pagi adiknya itu.

"Weh! Bang, bang!!" Jias mulai panik kala Jevan melingkarkan tangannya dileher Jias.

"Ketek lo bau!" Jias memukul pelan lengan Jevan yang mencekik pelan lehernya. Jevan hanya tersenyum sembari menuntun kepala Jias menuju meja makan.

"Heh! Heh! Je, demam dia semalem." Tegur Naven.

Sontak Jevan melepas pintilannya pada leher Jias. Berganti dengan menangkup wajah adik gemasnya itu. "Lo demam lagi? Adik tersayang gue demam lagi? Ututututuu.. demam, iya? Hah? Deman?" Jevan menguyel-nguyel pipi Jias.

"Bang, ampun sumpah, Bang." Jias memukul tangan Jevan dipipinya. Namun itu tak mampu membuat Jevan menghentikan aksinya.

"Makan! Makan, nih!" Ujar Naven. Ia melepas celemek merah mudanya. Jevan pun langsung meluncur menuju kursinya dimeja makan. Siap melahap masakan sang kembaran serta berangkat ke kampusnya karena ia ada kelas pagi ini.

Semesta SementaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang