23. Jevan Si Sulung

1.6K 176 4
                                    

.
.

Berjam-jam berlalu. Sejak salah satu masalah yang semakin banyak terjadi dalam keluarga ini. Yang semakin kacau disetiap waktunya. Sampai mereka pun lupa dari mana awalnya. Mereka tak berpisah, namun komunikasi yang memisahkan mereka. Jarang bicara, bahkan jarang sempat hanya untuk sekadar duduk bersama.

Pintu ruang rawat terbuka, mengalihkan sejenak perhatian Naven yang tengah bermain ponsel.

"Na, Jevan kemana?" Tanya Andra, saat hanya mendapati Naven di kursi tunggu.

Naven mengedikkan bahu acuh seolah ia tak tahu jawaban pertanyaan tadi. Naven mengerti Jevan, setelah Jevan menceritakan apa yang telah ia lakukan pada Bunda. Dan jika ia menjadi Jevan pun sudah sejak lama ia melakukan apa yang Jevan lakukan. Ia mengerti, Jevan itu sulit mengendalikan emosinya. Dan seharusnya Naven yang menjadi tameng untuk meredakan emosi Jevan.

Andra menjatuhkan bokongnya disamping Naven. Menghadap kepada anaknya. "Naven, Ayah seperti ini, bukan tanpa alasan. Semuanya Ayah lakukan, sebagaimana seharusnya. Ayah peduli sama kalian." Naven hanya diam, tak terlalu menganggap serius percakapan yang tiba-tiba ini.

"Tubuh Ayah, cuma satu. Kalaupun bisa Ayah bagi-bagi, Ayah pasti selalu jadi yang pertama saat kalian butuh Ayah. Dan kalau iya pun, ayah akan selalu ada disamping kalian."

"Sekarang ini contohnya, Bunda lagi tidur di dalem, Jias perlu diawasi, kamu kesepian, terus sekarang Jevan pasti lagi perlu teman cerita. Benar, Na?"

Naven lagi-lagi terdiam, bersikap seolah sibuk dengan ponselnya. Padahal sebenarnya telinganya dengan teliti mendengar setiap kata yang diucapkan Andra pelan.

"Naven, sebagai abang, bisa Ayah minta tolong? Jagain Bunda, Jagain Jias selama Ayah bicara sama Jevan nanti?"

Nada yang lembut dan tak lagi tegas itu, memberi luka tersendiri bagi Naven. Ini bukan Ayahnya, lelah telah menggantikan sosok tegas yang biasanya menegur kesalahan-kesalahan sepele yang ia buat.

Jika bisa, saat ini ia ingin memeluk erat tubuh ayahnya. Menangis bersama, menepuk punggung lebarnya dan berkata 'tak apa, lelaki bisa menangis, kalau capek, bilang saja. Biar naven berdoa sama tuhan, redakan segala sesuatu yang mengganjal dalam pikiran serta hati milik ayah. Biarkanlah ayah istirahat sejenak'. Namun sayang gengsi tetap akan menjadi pemenang.

Andra bangkit, sekilas mengelus puncak kepala Naven kemudian beranjak tanpa lagi berkata.

.
.

Jevan menendang kerikil yang menghalangi jalan nya. Tangannya ia masukkan dalam saku, sedikit mengurangi rasa dingin angin malam di tempat paling atas di gedung tinggi ini. Sampai ujung, Jevan melipat tangannya di atas pembatas dan meletakkan dagu diatasnya. Memandangi lampu mobil yang nampak indah dari atas sini. Decitan klakson mobil serta suara rem yang biasanya ribut dijalanan, dari atas sini terganti menjadi desiran angin yang menerbangkan kemejanya.

Beberapa kali Jevan menghembuskan nafas, tanpa mau mengeluarkan sepatah kata pun. Bayangan-bayangan wajah bundanya karena bentakannya, terekam jelas hingga detik ini masih menghantui pikirannya.

Gue yang bilang sendiri, masalah ini harus selesai. Setidaknya dikurangi sedikit demi sedikit. Tapi akhirnya, gue yang lagi-lagi menyebabkan masalah.

"Bego!! Dari awal semuanya emang gue yang salah! Dari awal gue yang gak becus jagain Jias!" Teriak Jevan, dengan rambut yang beterbangan seiring kerasnya angin berhembus.

"Jevan tolol! Dasar lo gak guna! Anak paling tua, kelakuan kayak bocah! Bunda nangis gara-gara lo anjing!!" Jevan menendang kuat tembok pembatas dengan kakinya sendiri.

Semesta SementaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang