07. Hyunjin bukan anak nakal

513 97 3
                                    


Pemuda Australia itu mirip peri—penggambaran Hyunjin—ditambahkan wajah tanpa bingkai kacamata, freckles indah di pipi bak rasi bintang, lalu pemandangan langit biru di belakang. Felix dengan segala keindahan diabadikan di dalam kamera—milik Seungmin yang dipinjam tanpa izin si empunya.

"Oh, Felix!" Felix mau tak mau menoleh ketika namanya disebut dengan nada riang meski cenderung kurang ajar dalam adat ketimuran. "Kau itu malaikat!" Hyunjin meralat kata peri, nanti Felix tersinggung seolah dia mengatakan kalau Felix sekecil kelingking dan menyebarkan serbuk pixie.

Kenyataannya, bukan hanya Hyunjin yang satu-satunya terpana. Felix juga. Senyum lepas nan polos Hyunjin—bukti bahwa dia masih kecil—terlihat memesona. Kamera yang menutupi hampir sebagian wajah, fokusnya pada Felix, bibir tebalnya bahkan tak berhenti memanggil nama Felix. Felix merasa dia dicintai setelah lama tak mendapatkannya. Ke mana saja dia, baru tahu bahwa eksistensi bernama Hyunjin itu ada.

Felix meronggoh ponselnya, diam-diam memotret Hyunjin. Dia tersenyum mendapati hasilnya. Tidak buruk untuk seorang berjiwa saintis. Sementara, Hyunjin memotret senyum itu, suasana hatinya memburuk, Felix bisa jadi mendapati pesan dari orang lain. Senyumnya tak untuk Hyunjin. Dia cemburu untuk seseorang yang entah siapa.

Suara bel berbunyi. Membuat keduanya saling bertatapan. Hyunjin merasa kecewa, waktunya untuk bersama Felix habis. Sedangkan Felix kecewa pada dirinya sendiri yang sempat terbuai rasa merah jambu. Pubernya terlambat, sial sekali. Dengan bocah berandalan hobi buat masalah pula.

"Felix, aku benar-benar tidak boleh mendatangimu ke kelas sebelum jam pelajaran?"

"Itu kesepakatannya." Suara berat Felix menghantam dada Hyunjin. Dia sudah janji. Laki-laki itu harus menepati janji.

"Tapi kalau aku tak mengantarkan makanan kau tak akan makan."

"Aku akan tetap hidup walau melewatkan sarapan." Benar juga. Felix tak akan langsung mati karena tak minum susu pisang dan sandwich tuna di pagi hari. Hyunjin tak bicara lagi, dia biarkan Felix masuk ke dalam gedung sekolah lewat pintu rooftop. Remaja itu membatu sejenak, terlalu bingung bagaimana cara mendekati Felix setelah ini tanpa harus menganggu pagi si professor. Dia akan tanya Minho nanti malam.

=================================

"Anjing!" Changbin yang mengumpat. Remaja dengan tinggi minimalis dan tubuh terbilang kekar mengelus dadanya saat mendapati Hyunjin duduk di tanah di tempat janjian mereka. Dia dan Jeongin mengirim surat tantangan beberapa hari lalu di locker Hyunjin, tak menyangka saja yang diundang datang lebih cepat dari perkiraan. "Kaget, cepat benar datangnya!"

Hyunjin meletakkan kamera Seungmin tak jauh dari tempatnya berjongkok. Dia tak mau kamera itu rusak dan berakhir diceramahi asisten ayahnya seharian suntuk. Mendengar debat searah Seungmin dengan ayahnya saja, Hyunjin sudah pusing, apalagi kalau dia yang kena semprotan. "Well, aku bolos." Jeongin tersenyum asimetris mendengar penuturan. Dia sudah duga Hyunjin memang bukan siswa baik. Mana cocok dengan idola mereka, Shin Ryujin.

Dia berdecih, sudah dari dulu memang punya sentimen pribadi pada pria tinggi itu. Jeongin tak suka perawakan Hyunjin, kalau kata Changbin, terlahir sebagai playboy. Senyum dikit sudah banyak menjaring gadis. "Kau memang brengsek!"

"Memangnya kau tak pernah patah hati lalu ingin bolos saja?"

"Lihat, sekarang kau berselingkuh dari Ryujin!" Changbin tak mau kalah. Hyunjin menghela napas lelah. Sudahlah, kalau berkelahi, berkelahi saja. Otak kedua remaja di depannya ini memang bebal. Mereka Cuma mau di dengar, mereka bahkan memotong semua perkataan Hyunjin.

Jeongin maju lebih dulu, mereka sudah berjanji akan bertarung adil. Satu lawan satu, kalau Changbin ikutan jadi dua lawan satu. "Kemari kau!" Dia memasang kuda-kuda.

Hello, Professor! [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang