11. Malam Panjang

738 106 9
                                    

Sudah lewat tengah malam, keheningan di dalam mobil sesekali terpecah karena suara dari navigator. Hyunjin masih betah mengigiti kuku ibu jari kanannya, pikirannya menerawang pada Minho. Agak cemas, ayahnya itu jarang mabuk bahkan setelah menelan empat botol miras. Kali ini, Hyunjin takut Minho akan menelan sekalian botolnya.

Remaja pirang itu cepat membuka pintu mobil saat mobil berhenti di sebuah restaurant daging. Dia mengaduh, tak dapat turun. Bingung tak jelas dan lebih memilih bergerak acak dikursinya. Felix menghela napas, melepas seat belt Hyunjin sembari menatap lekat bola mata pemuda itu.

"Tenang, kau akan mengacaukan segalanya kalau panik." Felix benar. Seumur hidup Hyunjin, hanya perkataan Felix yang tak pernah salah di telinganya. Baik ketika kelas sains bahkan ketika dia sudah menjadi kekasih Hyunjin. Embusan napas Felix membuat Hyunjin mau tak mau mencuri kecupan di bibir sang guru. Dia sudah siap menghentikan Minho, jika ayahnya itu mau menelan botol soju.

Hyunjin turun dari mobil, Felix mengekori. Di sana sudah terlihat Minho dan Seungmin, kepala mereka merebah di meja dengan tangan yang masih memegang botol miras.

"Dia datang!" itu bisikan Seungmin, mencoba mengode Minho agar siap dengan aktingnya.

Begini-begini, kalau Minho tak merasa bisnis menghasilkan lebih banyak uang, dia bisa saja menjadi actor. Modal wajah, tentu saja.

"Hyunjin anakku!!" Minho berteriak sambil berjalan sempoyongan. Pertama dia mau memeluk Felix, tapi tak jadi. Bisa-bisa Hyunjin akan melempar kursi itu ke kepalanya. Jadi, dia membelok pada Jisung. Sekalian modus, tentu saja. Kapan lagi dia bisa memeluk erat Jisung dan menghirup dalam-dalam aroma daging dari pakaian pemuda mirip tupai tersebut.

Jisung kebingungan, dia panic, percaya saja kalau Minho benar-benar mabuk sampai salah mengenali dirinya sebagai Hyunjin. Padahal dari tinggi badan saja sudah jelas beda.

Hyunjin separuh bersyukur, Minho baik-baik saja, sisanya dia mengumpat, bisa-bisanya orang tuanya itu bukannya mengayomi temannya malah merepotkan. "Rhino!" Hyunjin memanggil, suaranya terdengar dalam dan berat. Minho jadi ragu untuk tetap memeluk Jisung.

Seungmin buru-buru berteriak, "RHINOOO! BERANI SEKALI KAU MEMBUAT HIDUPKU SUSAH!" Minho menarik napas lega, menumpukan berat badannya ke tubuh yang mungil. Jisung hampir saja terhuyung. Untung Felix menahan dari belakang tubuhnya. "KURANGI PEKERJAANKU BODOH, HOHOHO!"

Namun, dia kembali gugup ketika Hyunjin menarik tubuhnya. Anaknya itu menggendong tubuhnya. Minho rasanya terharu, punggung Hyunjin sudah selebar ini. Meski jalan Hyunjin terhuyung beberapa kali saat menopang berat badan Minho dan tampak kesulitan, dia berhasil membawa Minho ke dalam mobil. Sementara, Seungmin dipapah oleh Felix dan Jisung.

Jisung menutup pintu mobil dan penampakan Hyunjin dengan wajah lelah membuatnya sedih. "Naiklah ke dalam, sekalian kami antar." Felix yang berkata. Dia jelas menatap raut tak enak Hyunjin saat menatap Jisung. "Hyunjin cukup lelah tampaknya kalau mengkhawatirkanmu pulang selarut ini." Senyuman Felix seindah mentari. Jisung jadi menurut.

Hyunjin tersenyum lebih cerah, mengangguk heboh. "Kalau kau mau menginap di rumah aku akan lebih senang. Kita bisa berangkat sekolah bareng, besok." Jisung mengangguk lagi. Hyunjin jadi ceria. "Aku akan membayar makanan mereka dulu," ucapnya pada Felix. Sang guru mengangguk membukakan pintu di samping kemudi pada Jisung.

Tak perlu waktu lama Hyunjin masuk—duduk di samping Seungmin yang saling bertumpu tidur pura-pura dengan Minho—dan mobil mereka melaju jalanan sepi.

"Hyunjin, Sam!" Seungmin berusaha menahan tawa gelinya saat mendengar suara acting Minho yang naik beberapa tangga nada. Kelihatan sekali tak natural. "Aku tak punya hubungan lagi dengan Felix."

Hello, Professor! [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang