ketiga : mari menjerumuskan diri

75 16 27
                                    

Saat Kita Remaja | Treasure J-Line

Saat Kita Remaja | Treasure J-Line

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

***

Keesokan harinya, semua siswa asrama berhamburan keluar kamar dan segera menuju sekolahan. Tidak semua sejujurnya, banyak juga yang masih leha-leha goleran di kasur atau nangkring di teras kamar. Bahkan ada juga yang masih sibuk mencuci dan menjemur pakaian di rooftop asrama. Maklum lah ya, baru kembali ke asrama lagi pasti baju di kamar yang belum di cuci sudah menumpuk.

Berbeda dengan Majid dan Iyan yang kini berjalan santai menuju kelas baru mereka. Keduanya antusias, kepo dengan teman sekelas mereka yang beberapa diantaranya pindahan dari kelas lain. Seperti biasa setiap ada orang yang berpapasan dengan mereka pasti orang itu selalu menyapa Iyan duluan.

Menyapa Iyan.

Sekali lagi, menyapa Iyan.

Ke Majidnya kadang.

Jujur saja Iyan merasa tidak enak pada cowo di sampingnya yang jarang mendapat sapaan dari murid-murid lainnya. Rasanya jadi sungkan untuk menyapa balik orang yang dengan ramahnya sudah mau mengucapkan "Selamat pagi," "Hai, Ryan!" "Hai, bro!" Atau sebagainya pada dirinya. Bagaimanapun juga Majid itu kawan karibnya, tentu Iyan dapat merasakan apa yang anak itu rasakan.

"Yan, kok elo bisa populer sih?" Tanya Majid kepo. Siapa tau Iyan memiliki trik jitu supaya dia bisa menjadi tenar dadakan.

"Secara gue kan ganteng nih, ya. Jago bela diri juga."

"Tapi soal prestasi gue jauh di atas lo,"

Iyan menghela nafas kemudian menghentikan langkahnya, berubah posisi berdiri menjadi menghadap ke Majid seraya memegangi kedua pundak anak itu. "Nih, dengerin gue, ya. Di sekolah kaya gini mana ada siswa yang iri karena masalah prestasi. Siswa yang rata-rata kaya kloningan anak STM gini tuh suka iri sama orang ganteng apalagi kalo orang itu fisiknya kuat."

"Dih, secara engga langsung lo bangga-banggain diri sendiri dan bikin gue minder." Majid berdecak dan merotasikan bola matanya malas.

"Hehehehe, kan harus bangga sama diri sendiri, sama apa yang kita punya juga. Ayo dah kita masuk kelas!"

"Eh, bentar," Majid kembali berucap, membuat Iyan yang hendak melangkah seketika terdiam kembali.

"Kenapa?"

"Tapi secara ga langsung gue juga populer kali,"

"Nah itu tau. Karena lo kawan gua, kan?" Iyan tersenyum simpul.

"Bener juga. Tapi rasanya gaenak hati karena takut disangka numpang pansos."

"Ya engga lah. Lo kan sohib gua, sans aja!"

"He'em. Thanks!"

Mereka berdua mengakhiri obrolan sampai disana. Majid dan Iyan kini masuk kedalam kelas 3-4, dimana sudah diisi oleh belasan siswa yang tengah sibuk dengan dunia mereka masing-masing. Kedua bocah somplak yang menjadi teman sekamar Iyan dan Majid pun belum menampakan batang hidungnya. Tadi saat mereka hendak berangkat, Aji dan Hanif terlihat masih tidur dengan dengkuran yang mengalahkan suara knalpot bising di pemukiman warga. Rasanya kedua anak itu tidak peduli dengan jam pelajaran yang akhirnya bisa saja terbuang sia-sia. Bukannya Iyan dan Majid jahat karena tidak niat membangunkan mereka untuk masuk kelas hari ini, tapi mengingat taruhan yang Iyan buat kemarin membuat mereka mengabaikan Aji dan Hanif. Masa iya, Iyan dan Majid sudah sombong-sombong tidak mau bergaul dengan kedua bocah itu tapi malah perhatian membangunkan mereka.

Saat Kita Remaja Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang