🎧Part 5||Kenapa Barbara Ikut Campur?

41 6 0
                                    

Jabran semakin membuktikan sayangnya pada Anindita, jika Anindita terlihat malu untuk lebih dekat dengan Jabran, sebaliknya Jabran malah percaya diri dan ingin menghabiskan waktu bersama dengan Anindita di bulan-bulan terakhir dia bisa melihat Anindita di sekolah ini. Mereka berjalan berdampingan, banyak mata yang menyaksikan mereka tidak suka, bukan pada Jabran, tapi Anindita. Selama ini dia di kenal alim, tapi kenapa harus pacaran dan mengumbarkannya di sekolah. Sesaat Jabran sampai di depan kelas Anindita, Barbara melihat keduanya tidak suka, tapi mereka tidak ingin peduli soal anak itu.


"Kak, aku masuk dulu, ya, mau ujian lagi."


"Semangat, aku tunggu kamu keluar, aku duduk di situ." Jabran menunjukkan kursi depan kelas 12 yang terlihat kosong, Anindita mengangguk dengan melemparkan senyum. Jabran mencubit pipi Anindita pelan, membuat gadis itu makin tersipu malu. Saat masuk ke dalam kelas, Jabran pun menuju ke arah yang ditunjuknya, dari dalam kelas Maiza menyenggol-nyenggol sikut Anindita sambil berdehem.


"Ehem, ciee," sindir Maiza.


"Ih, apaan, sih," balas Anindita malu-malu.


Barbara yang tanpa sebab selalu ingin ikut campur urusan Anindita. "Norak banget lu, gara-gara lu sahabat lu ikut norak juga, tuh," kata Barbara.


"Ih, lagian lu ngapain ikut campur urusan orang, ngurusin aja diri lu sendiri, suka-suka gue dong, mau ngapain," tepis Maiza emosi.


"Mai, udah, anak kayak begitu enggak usah di ladenin, cari ribut Mulu."


"Iya kesel gue, untung aja Anindita sabarin gue, kalau enggak ribut juga gue sama lu."


Barbara seolah tak bersalah, dia memilih lanjut duduk di bangkunya tepat di kursi paling belakang.


🎧


Jabran duduk di sana sambil memperhatikan Anindita, sebenarnya Anindita sedikit terganggu dengan keberadaan Jabran di sana, ia merasa malu jika terus dilihat apalagi saat tengah fokus, bagaimana jika nanti Anindita terlalu fokus, sampai tidak sadar membuat mulut yang kerucut karena fokusnya mengisi jawaban. Namun, mau bagaimana lagi, tak mungkin mengusir Jabran, untuk tidak mengecewakan pacarnya itu, sesekali Anindita melihat ke arahnya dan melemparkan senyum termanisnya, sambil fokus untuk terus berpenampilan menarik. Jabran melambaikan tangan dan turut memberikan semangat dari jauh, senyum manisnya selalu terpancarkan dari sana.


Maiza dan beberapa teman lainnya, menyadari aksi Jabran yang memberi semangat kepada Anindita di luar sana. Sebagian mereka iri melihat hubungan keduanya yang terbilang cukup menarik perhatian siswa lainnya akhir-akhir ini, mereka yang tidak ambil pusing mendukung apa yang dilakukan keduanya, karena Jabran sebentar lagi akan menghadapi ujian dan meninggalkan sekolah ini. Berbeda halnya dengan Barbara, dia curiga akan gerakan yang dibalas Anindita ke luar sana, dia juga tahu di luar sana pasti ada Jabran, dengan cueknya Barbara melanjutkan menjawab soal lagi, kali ini soal yang diberikan sangat sulit, yaitu Fisika. Hanya tiga orang saja yang memahami pelajaran ini di kelas, salah satunya Anindita.


🎧


Saat jam pulang sekolah, Maiza dan Niken memilih untuk pulang lebih dahulu, keduanya memang terbilang cukup akrab selama Anindita sering pulang bareng dengan Jabran.


"Kita deluan, ya, Dit," kata Niken dan juga melambaikan tangan pada Jabran yang masih setia menunggu di sana.


"Iya, hati-hati, ya!"


"Okey, bye."


Setelah memastikan kedua sahabatnya hilang diujung lorong, Anindita langsung menyusul Jabran.


"Gimana, lancar?"


"Lumayan."


Jabran melihat jam tangannya. "Masih awal, kita jalan dulu gimana?"


"Hm, mau ke mana?"


"Ke suatu tempat pokoknya."


"Iya, tempat itu, kan, punya nama, Kak."


"Udah kamu ikut aja." Jabran menarik tangan Anindita lembut, tapi langkah Jabran yang begitu cepat membuat Anindita harus terburu-buru mengikuti langkahnya. Sesaat kemudian, tepat di depan motor estetik Jabran segera memakaikan helm di kepala Anindita, rambutnya kini akan aman dari badai yang akan dilalui.


🎧


Angin sepoi menyapa di siang ini, cuaca mendung mendukung kebersamaan keduanya. Entah mengapa hatinya begitu girang, Anindita sangat bahagia hari ini, Jabran benar-benar membuktikan rasa cinta dan sayangnya pada Anindita. Tak selang lama mereka sampai ke sebuah tempat makan.


"Kamu lapar, kan?" tanya Jabran saat memarkirkan motornya.


Anindita mengangguk cepat, "iya, lumayan."


"Kita makan dulu, ayo!" Lagi-lagi Jabran menarik lembut genggaman tangannya dan Anindita. Perasaan senang dan debaran yang sama terasa lagi, genggaman ini rasanya begitu nyaman dan diirnya terasa dilindungi oleh laki-laki tampan di hadapannya kini. Mereka memilih kursi nomor lima, letaknya tepat di depan panggung. Namun, bukan Jabran yang mengisi panggung itu, sekarang bukan tugasnya, tapi Jabran sempat bertegur sapa dengan anggota band yang ada di atas panggung.


"Kamu enggak malu ngaku aku sebagai pacar kamu sama mereka?"


Bukan kaget dengan pertanyaan Anindita, Jabran malah tertawa. "Kamu itu cantik, Dit. Kenapa aku harus malu mengakui kamu."


"Cantik? Terus, bagaimana jika menurutmu aku ini tidak menarik dan jelek, apa kamu masih mau mengakuiku?"


"Kamu kenapa, sih, enggak percaya sama aku," Jabran menatap Anindita lamat-lamat, pandangan keduanya bertemu lama, "aku menyukaimu, bukan hanya menilai dari fisik, tapi kecerdasan dan cara kamu memperlakukan orang lain, itu sebagai daya pikat kamu yang berbeda dari yang lain."


"Memangnya bagaimana cara aku memperlakukan orang lain?"


"Kamu tidak pernah memasang wajah yang cemberut, kecuali kalau lihat Barbara, itu wajar, aku paham. Tapi, saat kamu melihat orang lain dan teman lainnya kamu selalu tersenyum. Bagiku senyum itu adalah yang paling indah yang ada padamu, sebab itu tak dapat aku temukan di lain orang."


"Kamu bisa aja." Anindita tersipu malu.


"Permisi! Mau pesan apa?" seorang pelayan datang menjalankan tugasnya. Keduanya terdiam sejenak untuk memperhatikan menu saling bergantian. Pilihan makanan keduanya jatuh pada nasi goreng kampung dan nasi goreng seefood, pilihan yang berbeda, untuk minuman mereka memilih minuman yang sama teh dingin. Anindita memang alergi dengan seefod kecil seperti, udang, shabu-shabu, dan beberapa lainnya.

🎧


"Kita mau ke mana lagi?"


"Pulang aja, deh, Kak, aku takut ketahuan Ayah."


"Ayah kamu bukannya kerja sampai sore?"


"Iya, Kak, tapi ini jam makan siang kantor, gimana kalau ayah ada di sekitaran sini dan melihat kita, pasti ayah bakal marah banget."


Jabran hanya tersenyum lalu memakaikan helm kembali di kepala Anindita. "Aku pingin banget dapat restu dari ayah kamu, gimana caranya, Dit?"


"Aku juga harap begitu, Kak, tapi selama kakak anak band, ayah pasti enggak akan suka."


"Terus kalau suatu saat lulus STAN, apa ayah kamu restuin?"


"Bisa jadi, Kak."


"Aku yakin, suatu saat nanti ayah kamu pasti akan merestui hubungan kita, sekarang wajar tidak merestui karena seorang ayah tidak mungkin mempercayakan anaknya pada seseorang yang masa depannya belum jelas."


"Semoga begitu, Kak."


Tanpa basa-basi lagi, Jabran segera mengantarkan Anindita pulang ke rumah. Walau dia tidak pernah memiliki izin dari ayah Anindita untuk mengantarkan Anindita, tapi dirinya hanya berusaha.

SORRY, DIT! (ON-GOING)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang